Kamis, 24 Desember 2015

Disiplin Tepat Waktu

Konon katanya, salah satu pintu kesuksesan harus memiliki disiplin waktu. Banyak contoh nyata tokoh-tokoh atau karakter warga satu bangsa yang memiliki disiplin waktu, ke depannya menjadi sukses. Tentu dengan ukuran sukses secara umum, bukan sukses dengan ukuran masinh-masing.

Nah, ngomongin disiplin waktu bagi para pekerja sejatinya kita bisa mencontoh manajamen waktu yang dilakukan oleh para wartawan. Terutama wartawan pemburu berita dari narasumber.

Perhatikan di televisi kinerjanya !

Kebanyakan mereka akan datang lebih awal dibandingkan dengan narasumber. Coba-coba mereka tidak disiplin waktu dengan berleha-leha, bisa dipastikan nol persen yang didapatkan dari narasumber.

Bukan sepuluh atau dua puluh menit sebelum narasumber datang mereka menunggu, satu jam bahkan lebih mereka datang lebih awal dari pada narasumber.

Ini contoh positif yang wajib kita tiru.
Ketepatan wakfu, atau bahkan sebelumnya kita bersiap-siap akan menjadikan kita karakter yang berkepribadian bahwa waktu sangatlah berharga.

Tidak perlu menunda-nunda apalagi sampai menyia-nyiakan wakfu jika ingin kita tercatat sebagai pribadi yang sukses.

Semoga

Rabu, 23 Desember 2015

Cinta Buku

Senang banged kalau udah ketemu buku, apalagi jenis novel, itu paling kunikmati. Setiap berkunjung di sebuah lembaga pendidikan, pertanyaan utamaku adalah di manakah letak perpustakaannya?
Kalau sudah ketemu, bisa lama aku di dalam perpustakaan.

Pun jika aku berada di pusat perbelanjaan.
Toko buku menjadi kewajibanku untuk dikunjungi. Liat-liat aja seh, maklum harganya mahal-mahal belum sesuai standar isi dompetku. Kecuali ada buku yang berasal dari penulis idolaku semisal, Tere Liye, Ayu Utami, Dewi Lestari, Emha Ainun Najib, Sapardi dan yang lainnya, maka tanpa ragu biasanya uang keluar begitu saja dari dompet. Hehehehe..

Mentok, biasanya beli buku second. Kalau di Gramedia Depok adanya di dekat parkiran. Di situ tersedia berbagai jenis buku dengan harga 'miring'. Bukunya masih baru, bahkan ada yang bersampul plastik. Cuma biasanya buku stock lama yang mungkin masih menumpuk di gudang penerbit. Makanya di jual dengan harga miring.

Selasa, 22 Desember 2015

Efek Berfikir Positif

Al-hamdulillah..

Hari ini aku masih bertahan.
Kekhawatiran di awal-awal tahun, terkikis seiring berjalannya aktivitas normal dilandasi keikhlasan dan kesabaran.

Al-hamdulillah..

Semoga bertahan hingga di penghujung usia. Aamiin.
Yang menjadi pelajaran adalah sikap sabar dan ikhlas harus tetap dijaga dengan berlandaskan pikiran-pikiran positif.

Aku sungguh merasakan kedahsyatan energi dari berfikir positif. Belum mencapai 100% seh, tapi proses yang sedang berjalan tuk menjadi pribadi 'positif' sungguh aku nikmati.
Selain berdampak pada tumbuhnya sikap sabar dan ikhlas, berfikir positif menjadikan lebih memiliki energi positif lain semisal percaya diri, dan yakin. Aku bahagia dengan keadaan ini.

Al-hamdulillah..

Untuk kedepannya, aku ingin menjadi agent untuk berfikir positif bagi orang-orang lain. Mereka harus bisa merasakan energi positif dan kebahagiian seperti yang aku rasakan.

Jiwa-jiwa resah, gelisah juga pesimis diubah menjadi jiwa-jiwa tenang, damai, juga optimis. Salah satunya dengan menyebarkan virus berfikir positif. Dan itu adalah aku.

Aku bisa melakukannya.

Senin, 21 Desember 2015

Berjiwa Besar; BISA

Faktanya demikian.

Banyak.cowok lebih memilih mengalah saat berdebat dengan pasangannya.

Tadi pagi Delta FM memberikan bukti meski hanya berdasarkan beberapa orang yang menelepon. Semuanya, baik penelepon cewek maupun cowok mengakui bahwa saat berdebat cowok banyak mengalahnya, dengan berbagai macam alasan.

Aku pun mengakui itu.
Bukan bermaksud merasa benar sendiri. Pun bukan bermaksud membanggakan diri.

Demi menjaga keutuhan dan kenyamanan hubungan, salah satu dari pasangan harus ada yang mengalah. Terlepas dari pihak cewek merasa dia dulu yang lebih mengalah. Hubungan tanpa perselisihan atau perdebatan juga tak mungkin adanya. Semua orang yang memiliki hubungan baik dengan orang tua, keluarga, teman, bahkan kekasih pasti mengalami masa masa perselisihan. Karena itulah hukum alamnya.

Kita ngga bisa menghindari. Mencegah mungkin. Karenanya mengalah atau bahasa kerennya berjiwa besar, mutlak dimiliki oleh masing-masing individu demi terciptanya kelanggengan hubungan.

Yang jadi pertanyaan sekarang, bagaimanakah mencipta diri menjadi pribadi berjiwa besar? Bagaimanakah terus bertahan menjadi pribadi berjiwa besar?

Bismillah...
Aku bisa..
Aku bisa berjiwa besar untuk menghadapi semua masalah.

Minggu, 20 Desember 2015

Pribadi Ikhlas; Harus

Keikhlasanku sedang goyah.
Diterpa keinginan nikmat sesaat atas dasar iri hati. Astagfirullahal 'adziim..

Lindungi ya Allah
Jauhkan hamba dari penyakit hati berbahaya ini, yang mampu merusak sistem 'keistiqomahan'  yang sudah ku bangun selama ini.

Bimbing ya Allah
Untuk melepaskan diri dari penyakit hati terkejam ini.
Apapun caranya, keikhlasan harus tertanam dan menjadi modal abadi saat beraktifitas. Sebab dengan itu kesombongan diri bisa dihindarkan.

Astagfirullahal 'adziim..
Lindungi aku ya Allah..
Jaga dan bimbinglah diri menjadi pribadi ikhlas lahir bathin menjalani semua ketentuan-ketentuan yang ada.

Ikhlas bikin nyaman

Ikhlas bikin ringan

Ikhlas bikin tak ada beban

Ikhlas bikin semua menyenangkan

Ikhlas bikin semua orang senang

Apalagi Tuhan

Ikhlas dengan apa yang terjadi

Yakin..

Bakal dapat kebahagiaan

Dunia plus akhirat.. aamiin

Sabtu, 19 Desember 2015

Fokuslah...

Fokus. Inilah kuncinya. Kalau dalam bahasa agama, aku bisa menyamakan dengan makna 'istiqomah', yaitu perbuatan yang dilakukan secara berkesinambungan alias berkelanjutan.

Keberhasilan akan didapat jika kita sudah mengamalkan ilmu fokus. Walaupun banyak halangan juga rintangan tetap berjalan sesuai dengan cita dan angan.

Ilmu fokus harus ku kerjakan. Fokus untuk perubahan lebih baik. Fokus untuk keberhasilan yang dicapai. Fokus agar semua cita-cita dapat diraih.

Ramadhan lalu aku kalah. Salah satu penyebabnya adalah kurang fokus dari semua yang sudah direncanakan. Segala niat dan planning menjadi berkas liar karena tak terjamah oleh mata apalagi tangan, astahfirullah.

Celakanya ini selalu berulang.

Kebodohan dan nafsu yang tak terkendali menjadi penyebab utama kehilangan fokus untuk berpindah sesuai rencana. Karenanya kedepan tak boleh lagi terulang. Fokus, harus dijalankan. Apapun resikonya. Karena itulah kuncinya.

Aku mudah goyah
Aku gampang terlena
Tapi aku juga bisa.fokus
Yakin... fokus untuk lebih baik

Bismillah...

Rabu, 16 Desember 2015

Cerpen: Dicari Para Pengkhianat Negeri


Sekarang, ini adalah rumahku. Rumah istimewaku. Tak boleh ada yang tahu. Termasuk orang tua, istri, anak, apalagi kawan-kawanku. Bila perlu syetan, jin, iblis bahkan malaikat ngga boleh ada yang tahu. Yang coba-coba memberitahu, dia akan merasakan akibatnya kelak dariku. Tak peduli siapapun dia.

Awalnya aku adalah “Tuan” dari sebuah Negeri. Penguasa yang memiliki pengaruh luar biasa kepada siapapun. Apapun kehendakku segera harus terpenuhi. Yang  coba menghalangi pasti dia kan tahu akibatnya. Sebab aku adalah orang paling berpengaruh, sampai yang Mulya pun tunduk kepadaku.

Hingga pada suatu hari…

Aku berlari. Mencoba menghindar dari semua serangan sebagian orang yang datang tiba-tiba untuk memburuku saat aku sedang asyik berjoging ria. Bebatuan kecil dan besar menjadi senjata para pemburuku.
Aku menghindar berlari menuju gang sempit. Mereka mengejar, tak lagi melempar tapi membawa kayu dan senjata tajam. Beringas, semua yang menghalangi langkah mereka segera di singkirkan. Aku terus berlari dengan berbagai pikiran mencari keselamatan.

Aku menemukan tempat persembunyian. Di sudut gang terdapat kotak plastic berukuran sedang. Bau busuk yang menyengat ku tahan sebisa mungkin. Yang penting aku selamat. Umpatan terdengar nyaring dari mereka yang memburuku.

“Pembohong…. Dimana kau bersembunyi..?”

“Penjilat… keluarlah… kau pasti kami temukan..?”

“Pengkhianat… kau tak akan kami bebaskan…”

Bergidik aku mendengarnya. Dengkulku gemetar. Nafasku memburu karena rasa takut dan bau busuk disekitarku. Aku ingin menangis, tapi ku tahan. Khawatir terdengar oleh mereka para pemburuku. Aku hanya bisa terdiam seorang diri.

Dimana mereka yang selama ini bergembira ria denganku? Kemana mereka di saat aku butuh pertolongan? Apa yang sedang mereka lakukan di luar sana? Apakah keadaan mereka sama seperti yang aku alami kini? Aaaaaahhhh……

Makian-makian di luar tempat persembunyianku mulai mereda. “Semoga mereka segera pergi jauh dan meninggalkan tempat ini.” Doaku dalam hati.
Aku tak tahan dengan bau busuk ini. Aku tersiksa dengan tempat kumuh ini. Aku ingin segera keluar dari tempat persembunyian sempit ini. Aku segera ingin keluar dan kembali menikmati bahagia dengan segala fasilitas mewahku. Secepatnya.

Tapi sayang harapan itu musnah. Keinginanku tuk segera keluar hilang saat terdengar ucapan dari seorang pemburuku:

“Tiga orang jaga gang ini. Kalau si Pengkhianat rakyat itu lewat atau keluar dari gang ini, habisi saja. Tak perlu dikasihani. Rakyat tidak membutuhkan pemimpin ‘bangsat’ yang cuma bisa menyengsarakan dan menyakiti rakyat. Yang lain ikut aku. Kita cari “orang-orang” yang sama bejatnya dengan si penjilat itu. Semuanya harus kita habisin demi tercipta Negeri sejahtera.”

Aku menangis dalam hati. Tak tahu harus bagaimana lagi.

Sekarang, ini adalah rumahku. Rumah istimewaku. Tak boleh ada yang tahu. Termasuk orang tua, istri, anak, apalagi kawan-kawanku. Bila perlu syetan, jin, iblis bahkan malaikat ngga boleh ada yang tahu. Yang coba-coba memberitahu, dia akan merasakan akibatnya kelak dariku. Tak peduli siapapun dia.



Cita Gita

Segala Puji Bagimu Ya Allah, Tuhan Sekalian Alam

Siang ini udara panas sekali. Aku berlari menyusuri pematang sawah yang telah habis masa panennya. Banyak sekali berserakan sisa-sisa padi yang kemarin baru saja telah dipanen dan langsung digiling sebelum dibawa ke koperasi desa untuk di pasarkan.

Aku tak mau berhenti, walau terdengar suara teman-teman yang mengajak untuk berteduh sambil istirahat setelah berlari tak henti dari halaman sekolah. Aku berlari terus dan tak peduli. Sekilas aku menoleh untuk melihat mereka sebelum langkahku jauh meninggalkanya. Mereka tertawa. Tomi, teman kelasku yang bertubuh tambun alias mirip gentong rupanya sedang asyik di godai sama teman-teman. Meraka mengelitiki Tomi yang sedang duduk istirahat mengambil nafas. Denis si bocah kurus kecil nan usil terlihat tertawa geli karena sudah membuat Tomi ketakutan untuk dikelitiki.

Aku iri melihat mereka. Tapi aku harus bagaimana? Ada yang harus aku kerjakan setiap pulang sekolah, dan itu tidak boleh aku tinggalkan. Sebab ibu sering marah jika aku tak mematuhi peraturan yang telah dibuatnya. Maklum aku adalah anak tertua dari tiga bersaudara. Kedua adikku, Noni dan Nana masih berumur 8 dan 6 tahun. Mereka sangat kecil untuk memahami keberadaan dan kondisi yang harus dihadapi kami sebagai satuan keluarga. Mengingat itu, aku segera pergi dan berlari sekencang-kencangnya.

##

Tuhan Pemilik Cinta, Tuhan Penebar Kasih


Ibu sedang melayani pembeli. Hari ini ramai sekali. Tidak seperti dua hari kemarin, Ibu hanya bengong menunggu kedatangan para pembeli rujak dan gado-gado dagangannya. Mukanya cemberut dengan mimik yang lucu. Sesekali senyum kalau melihat putera dan puterinya, mungkin ia bermaksud menghibur atau mencoba menunjukan suatu sikap bahagia padahal sebenarnya tidak. Tapi itulah Ibu. Tetap semangat dengan semua kondisi yang ada.

Ia memanggil serta mengagetkanku yang sedang asyik melamun mengingat hari kemarin. Diperintahkannya aku untuk mengambil sayuran untuk gado-gado di dalam rak makanan. Rupanya, sebagian sayur di luar telah habis. Untung masih ada cadangan. Sehingga ibu masih tetap berjualan meski hari menjelang petang.

“Gita… ibu senang hari ini”
Ia memulai pembicaraan setelah warung tampak sepi dan tinggal kami berdua.

“Gita juga senang kalau melihat Ibu senang”.
Ia mengusap kepalaku. Tangisnya tadi malam saat bermunajah kepada pemilik alam, terbayar hari ini. Ia terus mengembangkan senyum.

“Kamu kalau mau main, pergilah…! Tapi jangan lupa ajak adikmu Nana. Biar Noni sama ibu di sini menunggu warung. Tanggung tinggal sedikit lagi habis”

“Tidak Bu, biar Gita di sini saja menemani Ibu. Gita ga mau melihat ibu kerja sendirian”.

“Kamu memang tidak mau main sama Meta ?”

“Ngga..!”

“Ooo.. ya sudah kalau gitu !”

Aku memandangi wajah Ibu. Ia tampak kelihatan lebih tua dari umurnya. Mungkin karena harus menanggung beban hidup. Karenanya ia banyak pikiran. Tapi biarlah, yang penting Ibuku tetap terlihat cantik dan ayu. Wajahnya bersinar karena sering dipoles oleh air wudhu. Aku ingin seperti dirinya. Mempercantik diri dengan yang alami, sesuai perintah kanjeng Nabi.

##

Rinduku padamu ya Robbi…

Suara jangkrik terus bersahutan terdengar merdu. Aku tidak memiliki televisi, tapi cukuplah suara jangkrik itu sebagai penghibur hati atas keresahan yang membelenggu diri sejak pulang sekolah tadi. Apa coba yang harus aku katakan pada Ibu nanti? Aku tidak tega, sungguh ini memberatkan. Tapi aku juga membutuhkannya? Oh Tuhan Robbul ‘ijjati, tolonglah hambamu yang sedang bingung ini. Ucapku lirih.

Aku meneteskan air mata. Terdengar alunan suara seseorang membaca al-quran. Merdu sekali. Bacaan Makhorijul hurufnya betul, tajwidnya betul, suaranya syahdu. Oh indahnya…. Aku jadi terhanyut, terbuai oleh keindahan mu’jizatnya. Terasa terobati hati yang gundah gulana ini. Akhirnya dapat terlupakan dalam keheningan.

##


Hanya kepadamu aku memohon, kabulkan ya Robbi….

“Ngga apa-apa, bawa ini Gita. Jangan pikirkan untuk Ibu. “

“Tidak Ibu, Gita tidak mau. Biarlah Gita cari sendiri. Ini untuk modal Ibu saja. Kalau Gita pakai, bagaimana dengan nasib jualan Ibu?”

“Kamu bicara apa Gita? Jangan bicara seperti itu?, sudah pakai saja ini”

Aku menangis. Tak tahan melihat wajah baik Ibu. Sungguh aku tak berani membayangkan bagaimana jika uangnya aku pakai, bagaimana dengan jualan Ibu ? karena ini adalah modal satu-satunya. Ibu paling tidak suka kalau meminjam dari orang lain.

Baginya, selagi kita mampu untuk menghasilkan sendiri, jangan pernah minta bantuan orang lain. Pelajaran moral ini yang sekarang aku sedang dilaksanakan, tapi Ibu tidak menyetujuinya. Baginya, aku belum saatnya mencari uang sendiri di masa sekolah ini. Biar Ibu yang mencari sendiri.
Tetap saja kutepis uang pemberian Ibu. Bagiku, pekerjaan yang sudah kulakukan selama dua minggu ini, sedikit membantu untuk tambahan pembayaran uang ujian akhir. Sisanya aku akan cari lagi. Aku menjelaskannya kepada Ibu.

Kini giliran Ibu yang kulihat menangis. Ia kaget dan bingung, kenapa aku bisa melakukan hal itu tanpa memberitahukannya, mungkin itu pertanyaan yang ada di benak Ibu. Aku mencoba mengira-ngira. Sebab Ibu tak banyak bicara setelah mendengar penjelasanku tadi selain menangis.
Aku jadi tak enak hati. Kudekati Ibu dengan mencoba menghiburya.

“Ibu ngga usah khawatir, Gita bisa kok mengerjakan ini semua”
Ibu tetap diam. Ia hanya sesunggukan menahan tangis.

“Kan Ibu pernah bilang sama Gita:”Kalau kita harus mengerjakan sendiri pekerjaan yang bisa kita lakukan tanpa minta pertolongan orang lain”. Gita kan sudah besar, iya kan Ibu?”
Ia mengangguk.

“Cuma Gita minta maaf, karena sekarang tidak bisa menjaga Noni dan Nana full seperti dulu lagi setelah pulang sekolah.”

Ia mengusap sisa-sisa air mata di kedua pelupuk matanya. Sepertinya ia sudah bisa menguasai emosi.

“Tapi kau tidak boleh melakukan ini semua sampai nanti nak, cukup untuk satu bulan ini saja”
Aku mengangguk mengiyakan, walaupun sebenarnya aku telah tekan kontrak 6 bulan lamanya untuk bekerja pada Ko Siem sebagai pencuci laoundry. Bagiku, itu masalah nanti saja, yang penting sekarang Ibu mau memahami kenapa dua minggu ini aku pulang terlambat dan terlihat lelah sekali setiba di rumah.
Aku memeluk Ibu. Ingin kurasakan kehangatan yang telah lama hilang karena keegoisanku meninggalkannya untuk mencari uang.

Ibu membalas pelukanku. Hangat terasa menyebar ke seluruh tubuh. Semangat dan motivasi seolah tersalur bersama pelukan hangat.

Aku ingin menjadi seperti Ibu. Merawat, mendidik, menjaga, mengasihi dan menyayangi semua anaknya dengan setulus hati. Doa kecilku dalam hati.

(sudah di publikasikan di http://www.kompasiana.com/fiksi.kompasiana.com/cita-gita_566e3b8326b0bd1805a9ceb6 )

Rabu, 25 Maret 2015

Teladan sikap SANTUN Nabi Muhammad saw

Bersikap santun.. lemah lembut..

Tidak membentak

Itulah ajaran Nabi Muhammad kepada umatnya, ketika terjadi kesalahan yang telah dilakukan. Banyak contoh beliau yang patut diteladani terkait kesalahan yang dibuat oleh umatnya. Salah satunya peristiwa seorang Baduy yang kencing di masjid, oleh sahabat ingin dimarahi tapi dicegah oleh Rasul, malah para sahabat diperintahkan untuk menyiramnya. Alasan beliau, “Mungkin Baduy tersebut tidak tahu larangan kencing di masjid”. Subhanallah.. Luar biasa..

Indah banget
Damai pisan eyy.. !

Tak ada bentakan
Tak ada makian
Apalagi sampai di beri hukuman

Pelajaran berharga tiada tara dari sikap santun dan lembut Nabi Muhammad saw kepada kita semua.
Dengan dasar berfikir positif “dia belum tahu” sudah seyognyanya kita untuk menebarkan sikap santun dan lembut untuk semesta

Aku tak mau berandai
Aku pasti bisa dan yakin bisa
Meski karakterku penuh emosi dan amarah

Aku harus bisa
Aku sudah mencoba
Dan aku bisa

Meski sering pula terlupakan
Namun perlahan,
Yakin aku bisa bersikap santun dan lemah lembut

Yukk sama-sama saling mengingatkan

Selasa, 17 Maret 2015

Anugerahku, Sempurna

     Biar bagaimanapun dia adalah sempurna
Sikapnya
Parasnya
Kecerdasannya
Sungguh di luar imajinasiku

     Biar bagaimanapun dia adalah sempurna
Senyumnya
Tawanya
Candanya
Sungguh cermin kebahagiaan

     Biar bagaimanapun dia adalah sempurna
Cemberutnya
Sedihnya
Tangisnya
Sungguh dukanya menjadi dukaku

      Biar bagaimanapun dia adalah sempurna
Anugerah terindah yang pernah ku miliki
Walau sesaat

Kamis, 12 Maret 2015

Begal Versi Anak-Anak

Dkils- Sore menjelang. Panas siang matahari tergantikan oleh deru sepoi angin. Parto sudah dalam keadaan rapi dan wangi. Ia  asyik bermain robot Transformer sambil menanti kedatangan ayahnya dari kontor.

Mama Parto sibuk dengan jahitan baju. Sesekali ia memandangi Parto dengan mengulas senyum. Bahagia karena putra bungsunya hidup dalam keadaan sehat wal afiat sampai kini.

“Mama.. memang benar yaa kalau kita tidak boleh makan yang bukan milik kita? Meskipun itu punya kakak atau adik sendiri gitu?” tanya Parto polos.

Mama tersenyum mendengar pertanyaan cerdas dari putra bungsunya. Ia mengangguk pelan. Parto pun merasa tak puas dengan jawaban anggukan Mama.

“Kenapa sih Ma kok ngga boleh?” 

“Sayang, Nabi kita, Nabi Muhammad SAW mengajarkan untuk membiasakan terlebih dahulu meminta izin kepada siapapun pemilik makanan atau barang yang akan kita gunakan atau pinjem.”

“Biar kenapa Ma?”

“Coba sekarang adik rasakan. Kalau misalnya adik punya ice cream di kulkas, tiba-tiba saat adik ingin memakannya, ternyata ice creamnya udah ngga ada. Atau ice creamnya tinggal setengah. Bagaimana perasaan adik?”

“Pasti sedihlah Ma..”

“Iyaa… bahkan mungkin adik malah menangis. Sama yang akan dirasakan oleh orang lain. Ketika miliknya berkurang atau bahkan hilang tanpa sepengetahuannya, maka dia akan bersedih. Makanya, biar kita tidak membuat orang lain sedih, kita tidak menggunakan atau mengambil milik orang lain.”

“Oooh gituu…”

“Kalau mau minjem barang, silahkan izin terlebih dahulu untuk meminjemnya. Jangan asal pakai aja.”

“Iyaa Ma.. Adek pasti akan izin terlebih dahulu kalau mau minjem.”

“Memangnya ada apa kok tiba-tiba adek bertanya kaya gitu?”

“Begini Ma, tadi itu di kelas ada temanku si Rio membawa buah-buahan yang keliatan enak banget. Warnanya merah. Semua teman-teman ingin makan buah itu. Tapi kata Rio, nanti aja makannya bareng-bareng setelah makan siang.”

“Terus yang jadi masalah apa?”

“Nah.. tiba-tiba salah satu temanku si Usy bilang: ya udah, kalau ngga diizinin ama si Rio kita ambil ajaa yuk buahnya sendiri. Ngga usah nunggu si Rio. Aku udah kepengen banget nih.”

Mama menyimak cerita Parto dengan serius. Sementara itu Parto asyik melanjutkan cerita kejadian tadi pagi saat berada di kelas.

Saat Usy ingin mengambil buah itu, tiba-tiba temanku si Saiful berucap: "kita ngga boleh makan yang bukan milik kita tanpa izin tau. nanti yang ada kita malah berdosa". Begitu kata Saiful. 

"Iya... itu namanya mencuri alias begal. Hahahaha...." Sambung Jono

Eeh, si Usy malah menangis Ma. Yaudah kelas akhirnya jadi rame deh.” Ujar Parto mengakhiri ceritanya.

Mamapun tersenyum sambil berkata: “Apa yang dikatakan oleh temanmu Saiful memang benar. Sama seperti yang tadi Mama katakan kan? Kita harus izin terlebih dahulu kepada yang punya. Karena itu perintah Rasulullah. Agar kita tidak di cap sebagai pencuri."

“Iya Ma…” Ujar Parto sambil melihat cokelat milik kakanya yang ada di atas meja.




Rabu, 11 Februari 2015

Banjir Tiba, Salah Siapa ?

Sedih banget liatnya..

Aktivitas terganggu
Sekolah sepi tak terdengar 'nyanyian' riang anak dan guru
Toko-toko tutup menghindari rugi
Jalan raya amburadul isinya
Banyak lobang dan genangan
Mobil berbaris panjang
Motor macet karena kemasukan air
Dan paling menyedihkan liat sampah berserakan
Tak karuan

Sedih banget liatnya...

Karena hujan,
Begitu menurut pandangan banyak orang
Padahal, benarkah demikian ?
Sedih... miris... kasihan....
Entah untuk siapa ?

Andai ini bukan angan....
Setiap orang mulai sadar akan pentingnya jaga kebersihan. Sadar sesadarnya untuk mulai mencintai perilaku gaya hidup bersih, bukan sekedar slogan.

Mulai berani buang sampah pada tempatnya. Itu saja minimal dulu yang kita lakukan.

Ayo bergerak....
Ini bukan salah hujan
Ini salah kita yang buang sampah sembarangan
Makanya sekarang terjadi kebanjiran
Segera bergerak...
Menjaga kebersihan diri, keluarga, juga lingkungan

BISA !

Selasa, 10 Februari 2015

Kreasi Olah Bumbu

Berbicara tentang bumbu, apalagi untuk makanan pasti mengasyikan. Mie, yang tadinya kering garing, setelah kita beri bumbu, saus, kecap plus embel-embel lainnya maka mie tersebut berubah menjadi santapan sedap luar biasa. Apalagi kalau ditambahin cabe hijau, maknyooooossss pedeseeee.....

Sama halnya dengan obrolan atau saat kita menjalin hubungan dengan seseorang. Kalau begitu-begitu aja tanpa ada rasa curiga, marah, kesal, senang, bahagia, maka obrolan atau hubungan tersebut menjadi hambar.

Jadi bukan hanya tugas para chef yang harus bisa meracik bumbu, ternyata kita pun harus bisa.

Bagaimana caranya bumbu benci jadi suka ?
Bagaimana caranya bumbu rindu jadi ketemu ?
Bagaimana merakit bumbu duka jadi bahagia ?
Bagaimana mengolah bumbu cemburu jadi sayang ?

Dan ini tentu akan menjadi tantangan dan penuh petualangan. Nikmatilaah...

Nikmatin semua bumbu yang sudah tersedia. Olah sedemikian rupa. Jadikan menu 'hidangan'  terindah dan tak terlupakan bagi siapapun yang merasakan. Tentunya yang positf lah yooo... !

Berani berkreasi dan uji nyali salah satu kunci untuk menjadi chef yang sukses. Tidak mengandalkan itu-itu saja yang jadi kebanggaan. Mulai saat ini, apapun bumbunya yang paling penting adalah cara mengolahnya.

Mari kita BERKREASI

Kamis, 05 Februari 2015

Dian Sastro say Manfaat Bersyukur

Semakin banyak bersyukur, semakin banyak pula kenikmatan yang kita peroleh sesudahnya. Begitu kata Dian Sastrowardoyo di tayangan televisi beberapa waktu lalu.

So... Bersyukurlah selalu mulai saat ini:
1. Makasih... Saya udah bangun pagi
2. Makasih... Saya tidur nyenyak
3. Makasih... Udara semalam sejuk banget
4. Makasih... Masih bisa minum dan makan semaunya
5. Makasih... Wat kesempatan nulis lagi
6. Makasih... Masih bisa bercanda dan bahagia
7. Makasih... Diberi waktu kesempatan untuk belajar dan berkarya
8. Makasih... Sudah mengingatkan kembali untuk berfikir dan berkegiatan positif

Dan masih banyak lagi nikmat yang di dapat setiap hari dan waktunya. Tidak ada kesempatan sedikitpun sebenarnya untuk mengeluh atas segala apa yang kita alami dan hadapu. Karena biar bagaimanapun, sadarilah bahwa nikmat kebaikan lebih banyak kita dapatkan dari pada sesuatu yang tidak memuaskan bagi kita.

Sungguh tayangan inspiratif.
Menggugah kembali alam bawah sadar dari kesombongan dan kebekuan pikiran dalam bersikap  menerima nasib yang sudah terjadi.
Makasih untuk inspirasinyaa. Yukkk.... berSYUKUR terus

Rabu, 28 Januari 2015

Tanya Selingkuh

"Kaka... aku ingin curhat.." pinta adik kecilku yang masih duduk di kelas SD kelas 6.

"Iyaa Dik, mau curhat apa?" Tanyaku sambil tetap fokus memandang layar komputerku.

"Tapi Kaka jangan marahi aku ya?" Harapnya.

"Iya cantik, Kaka ngga marah. Emang mau curhat apa kok bisa bikin Kaka marah" kulirik sebentar wajahnya, dan tampak kesedihan yang mendalam di wajahnya.

"Bener yaa Kaka ngga marah, janji?"

"Iya Adikku cantikkkkk...." Godaku

"Kaka.. emang kalo kita punya cowok, terus beberapa hari ini dia tidak pernah ngubungi kita lagi berarti dia selingkuh gitu?" Adikku langsung menunduk dan spontan aku teriak..

"WHAAAAAATTT?" Lantas aku memegang kepalanya dan memandangi wajah polosnya. Tak tampak ekspresi takut, malah kesedihan yang ku dapati di wajah imutnya.

"Kok kamu nanya gitu  sayang? Siapa yang nyuruh?" Selidikku

"Aku sendiri Kaka. Aku ngga ada yang nyuruh. Aku pengen tau. Sebab banyak teman-teman yang bilang kaya gitu. Aku jadi penasaran" Jelasnya

"Owalaah... kok kamu bisa nanya seperti itu ke Kaka?"

"Sebab cowokku sekarang kaya gitu kak....." jawabnya pelan sambil menunduk

"Whhhaaaaaatttttt? Kamu udah punya cowok?"

"Iya Kaka..." Ia pun tersenyum malu-malu

Aku lantas geleng-geleng kepala. Berpikir bahwa adikku masih kelas 6 SD, tapi ia sudah memiliki seorang kekasih.

Normalkah ini?

Aku terdiam. Teringat masa kecilku dulu saat seusianya. Memang dulu pun kehidupan masa-masa kecilku di bumbui rasa suka menyukai terhadap lawan jenis. Maklum, mungkin karena memang itulah masanya usia kita jelang remaja alias puber. Tapi saat ini, yang ga habis aku pikir adalah kenapa Adikku bisa berpikir bahwa cowoknya saat ini sedang selingkuh? Anak seusianya sudah ke arah sana berpikirnya. Siapa yang mengajarkanya? Dapat informasi dari mana dia?

Aku geleng-geleng kepala. Tak ku gubris panggilan Adikku berulang-ulang. Aku terdiam. Terpikirkan kisah cinta monyet Adikku hingga aku di tepuk olehnya.

"Kok Kaka malah diam? bener ngga Kak kalo cowok kaya gitu berarti dia sedang selingkuh?"

Aku masih diam dan segera meminum sisa juice jambuku. Aku bingung menjawabnya. Adikku tampak kesal menunggu jawaban. Tak lama, ia pun beranjak pergi dan meninggalkanku yang sedang binfung sendiri.

Selasa, 27 Januari 2015

Bangun Tidur Lalu.....

Bangun tidur malam itu, enaknya langsung ke kamar mandi. Ambil wudhu lalu sholat, dzikir dan berdoa plus baca Quran. Dijamin ketenangan jiwa dan raga menyelimuti.

Selanjutnya, segera ambil buku dan pulpen lalu mulailah berselancar di lembaran-lembaran kertas putih untuk menuangkan ide dan kreatifitas menulis. Berdendanglah dalam lembar itu. Buatlah gerakan erotis pada pulpen sehingga menghasilkan karya yang penuh rasa. Jangan berhenti sebelun kumandang adzan terdengar. Menarilah dan terus bergoyang mengikuti loncatan-loncatan liar alam pikiran.

Aku menangis, teriak sekencang-kencangnya. Berharap pertolongan segera datang. Tapi apa daya, semua orang ku lihat sibuk dengan sendirinya. Menjaga keselamatan masing-masing. Aku semakin lemah. Air bah ini menguras seluruh tenagaku. Hanya pohon jambu ini menjadi peganganku sekarang. Aku kembali menangis kencang.

Pegangan tanganku mulai melemah. Mulutku kini tak lagi mengeluarkan erangan kesedihan. Ku pasrahkan semuanya kepada sang Pemilik alam. Aku bersenandung pujian kepada-Nya plus ampunan. Astagfirullahal 'adziim-Subhanallah-WalHamdulillah-Walaailaaha illallahu wallahu akbar.  Aku pasrah mendapati serangan air yang semakin deras menerpa tubuh ringkih ini.

Tak lama kemudian, cengkraman jari-jari tanganku mengendur dan akhirnya terlepas dari tubuh kokoh pohon jambu. Aku terhempas. Terombang ambing oleh kekuatan air yang menyeretku entah ke mana. Semakin lama dadaku sesak. Perlahan tatapan mataku mulai memudar. Semua tampak samar. Pikiranpun mulai kosong hingga aku tak sadarkan diri berada di tempat antah berantah saat mata terbuka secara perlahan. Nanti.

Itulah goyangan erotis pulpenku pagi ini. Aku bahagia bisa nulis. Aku senang pagi ini bisa berbagi tulisan walau ga jelas apa tema dan maksud tulisannya. Yang penting, aku sudah mengolah rasa dan melatih nulis. Sungguh aku bahagia.

Adzan datang
Tolong hentikan
Sementara
Menghadaplah kembali pada Tuhan
Memohon semua yang dibutuhkan
Segera

Minggu, 25 Januari 2015

Sore Hujan di Pinggir Jalan

Ini sore hari. Aku ada di tempat yang baru saja ku singgahi.
Menikmati rintik hujan ditemani teh hangat manis dan berbatang rokok. Jarang-jarang bisa kaya gini lagi, nulis dengan suasana dan cuaca baru.

Ngga ada ide wat tulisan kali ini. Tapi dari pada bengong ngga puguh lagu (kata orang betawi mah) mending aku nulis. Karena nulis bikin fresh hati dan pikiran. Konon katanya. Dan sekarang terbukti, pikiran jadi enak saat merangkai kata di blog ini. Bete yang melanda jadi terhibur. Hahahahaha

Di hadapanku berdiri rumah kokoh yang lumayan besar. Jadi kebayang mimpi rumah idamanku meski ngga seperti ini. Kapan yaa bakal terwujud? Semoga aja bisa segera.

Masih rintik rintik hujannya. Mau jalan masih malas. Nanggung. Ngelarin tulisan aja dulu aah.

Tapi apaa lagi yaa yang mau ditulis?
Hahhhahaha

Yaudah deh. Yang penting udah fresh. Lanjut lagi aja laen waktu.

Semangat

Badai Hidup

Dkils- Gelombang badai silih berganti dengan keteduhan yang nyaman, pelayaran abadi kehidupan pun terus berlanjut, sementara sedih dan senang datang berganti menerpa jiwa dan tubuh yang belum dalam kondisi “sehat secara utuh”. Orang tua tetap menjadi nahkoda penakluk segala perubahan cuaca, semakin tangguh berkelit melintas badai, maupun tabah untuk tetap tersenyum menghadapi keteduhan yang mengandung bibit topan. Tapi itu dulu, dan kini ?

Masih tepat seperti biasanya, ia datang tepat pada waktunya, pukul 2 siang hari. Padahal hari ini hujan turun amat lebat. Rupanya itu tak menggangu prinsip hidupnya untuk bisa menjadi orang yang selalu datang tepat waktu sebagaimana janji yang telah terlontar dari mulut busuknya. Maaf berbicara seperti ini, sebab aku tak tahan kalau mengingat sikap buruknya terhadap keluargaku. Tapi aku jujur mengakui, ini salah satu kelebihan diantara berjuta kekurangan yang ada pada sosok pria yang memiliki tubuh gagah nan kekar.

Aku hidup dengan emak yang berumur kurang lebih 50 tahun dan satu kakak perempuan yang telah berumur 17 tahun. Aku sendiri baru berumur 15 tahun. Aku dan kakak berhenti sekolah karena tak memiliki biaya. Jangankan untuk biaya sekolah, dapat makan satu kali sehari saja sudah beruntung. Kami hidup sebatang kara setelah di tinggal Bapak yang menikah lagi dua tahun lalu. Melihat kenyataan itu, emak kini dilanda sakit. Tak tahu apa jenis penyakitnya. Sebab, semua dokter bingung dengan penyakit yang didera emak. Katanya “Penyakit emak, tak ada dalam dunia kedokteran”. Aku jadi heran oleh penjelasan dokter. Memang tidak ada yang aneh dalam fisiknya. Semua terlihat normal. Tapi kalau sudah menjelang malam, rasa sakit itu tiba-tiba datang menghampiri. Biasanya emak akan mengerang keras menahan sakit yang berpusat di kepala, kadang juga di perut.

Sehari-hari aku dan kakak bekerja di jalan raya menjual koran. Terkadang kalau koran sudah terjual habis kakak menyelingi dengan bekerja sebagai pengamen bersama dua kawannya. Kakak memang bercita-cita banget ingin menjadi penyanyi. Ia ingin seperti Siti Nurhaliza, artis Malaysia yang memiliki suara merdu. Setiap hari kakak selalu bersenandung mengasah suaranya. Berharap vokalnya kian merdu dan enak untuk didengar.

##
Ia berdiri di depanku, dan langsung meminum habis air teh yang kusediakan. Aku dibuat terperanjat oleh sikapnya. Bayangkan, air teh yang kusediakan adalah air yang baru saja kuseduh. Aku tak habis pikir olehnya. Kekaguman ku kepadanya karena telah mempertahankan prinsipnya untuk menjadi orang yang tepat waktu, bertambah setelah melihat kesaktiannya meminum air yang baru saja dimasak. Subhanallah.

Ia lalu memanggil dan mempertanyakan kemana kakakku yang bernama Asih berada. Setahunya, sudah dua bulan ini ia tak melihat paras ayu nan elok milik wanita-wanita melayu yang ada pada kakak. Aku diam ditanya hal itu. Ia tak tahu sebenarnya kakak sudah 3 bulan lebih meninggalkan rumah untuk menghindari lelaki hidung belang yang ada di depan mataku ini. Berdalih keluarga kami tak mampu membayar uang, ia meminta tebusan dengan tubuh dan jiwa kakakku. Sungguh lelaki tak tahu malu. Asal tahu saja, di rumahnya yang mirip istana presiden di Bogor itu sudah tertampung 3 orang istri berparas ayu nan seksi. Belum lagi, keberadaan wanita-wanita di sampinya yang tak memiliki status jelas dengannya. Sungguh memalukan lelaki seperti ini. Semoga Tuhan cepat membuka pintu hatinya.

Ia kembali bertanya kemana Asih? Aku menjawab dengan penawaran mengajak Tuan Sugeng untuk makan mie. Ia tertawa mendengar tawaranku.

“Kau pikir aku ini orang miskin yang tak bisa makan sepertimu. Enak saja. Jangan coba mengalihkan pembicaraan” begitu tuturnya.

Aku tentu saja kaget dan takut mendengar gertakannya.

“Di mana Asih? Kasih tahu aku ! jika tidak, kau dan emakmu yang lumpuh itu harus segera pergi dari rumah ini”

Aku diam saja.

“Hai … kau tuli ya?” Ia menghampiriku.

“Saya tidak tahu Tuan, kakak cuma bilang mau cari uang untuk bayar utang pada Tuan”

“Jangan coba-coba kau bohongi aku”

“Sumpah Tuan”

“Aku tak percaya, cepat kau beritahu aku atau kuhajar kau sekarang juga !”

Aku lantas menangis. Kencang. Melebihi volume suara hujan yang mulai mereda.

“Hai diam.. ! Kau malah menangis, kau pikir aku kasihan melihatmu menangis”

Aku tetap menangis kencang. Terdengar samar batuk emak, juga rintihannya. Aku jadi berhenti menangis.

“Tuan beri kami kesempatan satu bulan lagi untuk melunasi hutang yang ada, saya janji bulan depan akan melunasinya”

“Bulan depan, bulan depan. Kau terus membohongiku”

“Sumpah Tuan, bulan depan. Sekarang kami tak punya apa-apa. Kami tak tahu harus membayar dengan apa?”

Hujan mereda. Batuk emak semakin menjadi. Aku tak berani meninggalkan Tuan Sugeng untuk menghampiri emak. Tuan Sugeng berdiri dan mencengkramku.

“Baik, kau kuberi kesempatan untuk yang terakhir kali. Bulan depan kau harus lunasi semua hutang. Kalau memang tidak mampu, bilang sama kakakmu untuk bersedia menjadi istriku. Ku jamin hutang keluargamu lunas semua. Bahkan, ibumu yang sedang sekarat itu, akan aku rawat hingga sembuh. Dan kalau kakakmu tidak mau, segera bulan depan kau dan emakmu angkat kaki dari rumah ini. Camkan itu !”

Ia melepaskan cengkramannya dan berlalu begitu saja dari hadapanku. Tapi tiba-tiba ia menoleh setelah melewati pintu rumah dan berkata: “Aku akan datang tanggal 13 bulan depan jam dua siang seperti ini. Jangan lupa panggil Asih” Ia lantas tersenyum dan melanjutkan perjalanannya. Aku segera beranjak dan menghampiri emak yang sedang merintih menahan sakit.

##
Awalnya beberapa waktu lalu saat emak mulai terserang penyakit aneh pasca ditinggal nikah lagi oleh bapak. Kami bingung harus mencari uang kemana demi pengobatan emak. Berbagai usaha telah kami lakukan demi kesembuhan emak. Mulai periksa ke rumah sakit sampai datang ke tempat penyembuhan alternative. Semua sudah dijalani. Tapi tak menghasilkan apa-apa, sia-sia belaka. Emak masih terbujur dengan penyakit yang dideritanya. Sementara hutang kami menumpuk di mana-mana. Terlebih pada rentenir bernama Tuan Sugeng.

Kami sudah menunggak 2 bulan lebih untuk melunasi hutang pada Tuan Sugeng. Peralatan rumah tangga sudah kami korbankan. Televisi berwarna 14 Inc hasil hadiahku ketika mengikuti lomba jalan sehat tingkat sekolah, motor tua milik Emak yang biasa dipakai jualan jamu keliling, alat-alat dapur sampai pada pakaian peninggalan bapak ludes terjual. Sayang, itu belum mencukupi untuk membayar hutang. Dan akhirnya kakak berinisiatif pergi keluar negeri untuk bekerja sebagai TKI setelah ada penawaran dari Ibu Margono. Tadinya aku menolak. Aku tak mau ditinggal sendiri menemani Ibu. Tapi apalah daya, tekad kakak sudah bulat untuk mengadu nasib di negeri orang demi terbayarnya hutang-hutang yang ada pada Tuan Sugeng. Sebab ia tak mau menjadi pengganti pembayaran hutang dengan menjadi istri ke empatnya.. Dan al-hamdulillah 3 bulan berlalu, kakak selalu rajin mengirim uang untuk keperluan kami sehari-hari.

Aku tidak tahu pasti apa yang dikerjakan kakak di seberang sana sekarang. Sebab setelah ia mengirimi kami uang satu bulan yang lalu, ia tak pernah lagi memberi kabar. Biasanya dua minggu sekali ia memberi kabar sambil menghapus rasa kangen pada kami. Aku pernah mencoba menghubunginya lewat Ibu Margono, tapi tak ada jawaban pasti.

Katanya ia bekerja sebagai pembantu dan baby sitter pada seorang Cina-Arab, tapi itu dulu, sebelum ia mengirim surat terakhir yang pernah ku terima. Pernah suatu hari ia mengirim surat padaku dan bercerita panjang lebar tentang juragannya di sana. Mereka adalah keluarga baik-baik. Di rumah besar nan megah itu berisi 4 orang anggota keluarga Tuan Nashir dan Nyonya Mei di tambah satu orang putra berumur 12 tahun (beda 3 tahun denganku) dan satu orang putri yang baru berumur satu tahun. Sehari-harinya kakak bercerita mengerjakan segala urusan rumah tangga sendiri. Memang, dibalik keramah tamahan dan kebaikan keluarga tuan Nashir, ada ganjalan di hati kakak yang terkadang membuatnya sedih dan menjadi tidak betah untuk tinggal lama-lama yaitu adanya pertengkaran diantara juragannya.

Seperti belum lama ini, kakak menyaksikan secara langsung kejadian saat Tuan Nashir menampar wajah Nyonya Mei hanya karena Nyonya Mei pulang terlambat. Kakak tak sanggup melihat kekerasan itu, terlebih saat Nyonya Mei tak mau kalah, ia lemparkan barang-barang rumah yang ada di sekitarnya kepada Tuan Nashir. Rumah jadi serasa bagai terkena gempa, hancur dan berantakan. Sungguh memprihatinkan.

Kakak berniat untuk keluar dan kembali ke rumah. Tapi ia tak cukup tega untuk meninggalkan kedua anak juragannya. Bagi kakak, bagaimana mungkin ia meninggalkan kedua anak kecil yang tak berdosa itu dalam keadaan orang tua yang kacau balau? Ia tak tega melakukannya. Apalagi sekarang, saat sudah seminggu ditinggalkan oleh Tuan Nashir untuk mengungsi sementara dan menenangkan diri setelah terjadinya pertarungan hebat antara keduanya.

Nyonya Mei hanya tersenyum hambar, seperti ada pada garis tegang antara bahagia dan bangga kepada kakak atas kesabaran mengurusi keluarganya yang sedang carut marut.

Itulah isi cerita pada surat terakhir yang kuterima dari kakak. Aku turut sedih mendengar ceritanya. Terkadang aku ngeri juga mengingat kejadian masa lalu yang juga menimpa keluarga kami. Mirip dengan keluarga Tuan Nashir. Aku membayangkan seandainya aku menjadi atau berposisi sebagai Ibu waktu itu, tentu akan memiliki perasaan yang hancur sangat menyaksikan suami tercintanya berlabuh pada wanita lain. Makanya wajar ketika itu, ibu amat sangat marah mengusir bapak dari rumah saat bapak membawa istri keduanya dan mengajak untuk tinggal bersama dalam satu rumah dengan kami.

“Kau berani sekali Juki !!, membawa istri simpananmu kerumah peninggalan orang tuaku. Ini adalah rumahku, bukan milikmu !! Jangan harap kau bisa tinggal di sini bersama wanita simpananmu itu. Pergi kau dari sini dan jangan pernah kembali lagi !!” kata Ibu mengusir Bapak tempo dulu.

Aku menyaksikan kejadian itu bersama kakak. Kami menangis dan saling berpelukan. Ibu tak kulihat lagi sebagai sosok wanita yang tabah, sabar dan penyayang. Saat itu tampak ibu seperti seorang preman yang telah menenggak minuman keras lebih dari dua botol. Amat menakutkan. Bapak tak terima diperlakukan seperti itu, apalagi banyak warga yang menyaksikan. Jiwa lelakinya membara menahan malu telah diperlakukan seperti maling ketahuan lantas diarak di depan umum. Ia marah dan memukul ibu. Ia masuk dan mengambil barang-barang milik kami yang diakuinya sebagai miliknya. Ibu pun tak mau kalah. Di rebutnya kembali barang yang sudah ada di tangan bapak. Pertengkaran fisik pun terjadi hingga akhirnya ada warga yang memisahkan dan serta merta bapak mengucap talak tiga kepada ibu lalu pergi jauh bersama istri keduanya. Tanpa membawa apa-apa. Hanya rasa malu belaka.

Semenjak itulah, tak lama kemudian ibu sakit-sakitan. Sakitnya aneh. Di mulai dari sakit yang dirasakannya pada bagian kepala, kemudian lari ke perut, selang kemudian kedua kakinya tak bisa digerakkan untuk berjalan. Dan kini ibu tak bisa bicara. Hanya terbujur di tempat tidur menahan sakit yang diderita seorang diri. Ibu hanya bisa menitikan air mata jika ingin berbicara kepadaku. Sungguh kondisi yang menyedihkan. Terlebih kini kakak tak jelas keberadaanya. Aku tak punya lagi sandaran untuk menopang hidup sehari-hari terlebih untuk melunasi hutang pada Tuan Sugeng. Bayangan caci maki dan usiran untuk pergi meninggalkan rumah bulan depan oleh Tuan Sugeng, menyeruak masuk alam pikiranku. Aku jadi ngeri membayangkannya. Kini aku hanya bisa berdoa kepada Tuhan untuk selalu menjaga dan melindungi kami dari segala kesulitan dan mara bahaya yang datang.

##
Satu minggu lagi batas waktu yang ditentukan Tuan Sugeng untuk melunasi hutang segera tiba. Aku tak tahu harus berbuat apa. Kehadiran kakak yang kami tak kunjung tiba. Aku cukup berpasrah diri. Ingin rasanya aku bekerja mencari uang seperti dulu, tapi tak bisa. Kedua kakiku cacat saat berumur 13 tahun setelah keduanya diamputasi karena kecelakaan saat aku berjualan koran di jalan raya. Aku tak mampu mengingatnya, karena kejadiannya terlalu cepat. Aku hanya ingat, saat kulihat lampu kuning akan berganti merah, segera aku mendekati calon pembeli yang ingin berhenti menunggu lampu hijau menyala untuk dapat melanjutkan perjalanan, tapi tiba-tiba dari arah belakang sepeda motor berlari amat kencang memanfaatkan sepersekian detik untuk menghindari lampu merah yang baru saja menyala hingga akhirnya menabrak dan menciderai kakiku. Untung ia mau bertanggung jawab.

Pagi ini aku hanya bisa duduk di kursi roda pemberian orang yang telah menabrakku. Memandang jauh keluar dari jendela rumah berharap-harap cemas akan kehadiran sang dewi penolong. Tapi Aku tak betah dengan kegiatan ini. Segera ku beranjak ke ruang tengah dan menuju meja belajar untuk melakukan aktivitas menulis sambil menunggu ibu.

Selang beberapa waktu ada yang mengetuk dari pintu. Aku segera menghampiri. Saat kubuka, ada seorang petugas pos berdiri dengan senyum sumringah. Ia memberiku kertas untuk menanda tangani berita acara bahwa ia telah melaksanakan tugas pokoknya. Setealh itu ia menyerahkan amplop rapi bertuliskan “Panitia lomba menulis cerpen tingkat anak-anak se kota Depok”. Aku dag-dig-dug menerimanya. Kemudian pak pos pamit pergi. Aku mengiyakannya. Lalu kembali ke ruang tengah.

Aku kaget melihat isi surat. Di dalamnya tertera pengumuman nama-nama pemenang lomba menulis cerpen tingkat anak se kota Depok, yang di situ namaku berada pada urutan paling atas. Aku segera mengucap syukur pada Tuhan. Buru-buru ku dekati kamar ibu dan memberitahukannya. Ia merespon dengan senyum. Aku senang. Sangat senang. Hilang sudah rasa kekhawatiran menunggu datangnya Tuan Sugeng. Sebab kini aku sudah memegang uang lebih dari hadiah yang ku peroleh sebagai pemenang.

Puji syukur pada Tuhan. Tak ku sangka, niat coba-coba saat itu mengirim dan mengikuti lomba penulisan cerpen ternyata menjadi jalan untuk aku dan keluarga keluar dari permasalahan yang membelit. Aku bertekad, untuk terus rajin menulis. Dan meyakinkan diri untuk menjadi orang sukses walau dengan kondisi fisik tak sempurna. Gairah hidup kembali muncul. Rasa optimis menjalani hidup dengan lebih baik tanpa selalu bergantung dengan orang lain menyeruak dan menjadi benih-benih semangat dan motivasi diri. Segera kutanamkan dalam sanubari, “Aku harus jadi penulis sukses, itu yang bisa ku lakukan sekarang. Dan dunia pasti kan ku kuasai”
Tentang Duka

Hasrat yang terpendam
Jadi duka
Keinginan tak terpenuhi
Pun duka
Takut tak jelas
Lagi, duka
Kecewa lantas marah
Duka
Bingung dan bengong sendiri
Jadi duka
Ini tentang duka
Lagi dan lagi tentang duka
Ajal pergi
Semua berduka

Pengikut

S e l a m a t D a t a n g di Cielung Dkils

TAMU "Gelisah"

free counters