Selasa, 27 Maret 2012

SHOW UNIK ‘PENYAIR’ JALANAN

Baru tadi dia menangis, lima belas menit yang lalu. Tapi sekarang sudah bisa tertawa terbahak-bahak. Kencang. Katanya sambil meringis:”Ya kan …. Ngga percaya sih lo .. !” Dia berbicara seorang diri
Kemudian dia melanjutkan tawanya. Geli. Tubuh kurusnya berguncang-guncang. Tangan kanan memegang perutnya. Dia meringis. Kedua matanya terpejam sesaat.
Aku bengong. Memandang tidak jelas ke arahnya. Lima belas menit berjalan ia tertawa dengan puas. Tanpa ekspresi, aku bertanya dalam hati :”Kenapa ini orang ? Apa maksud dari ucapannya tadi ?”
Tawanya mereda. Volume suaranya yang keras tiba-tiba mengecil. Kini ia duduk membelakangiku. Kemudian suaranya terdengar lirih:”Tuh kan …. Dia mah begitu !” 
Sepintas ku lihat lirikan matanya tertuju kepadaku. Tapi dia buru-buru membuang muka. Menghindar terjadinya kontak mata antara aku dan dia. Aku jelas dibuat bingung oleh sikap pria di sampingku ini. “Apa maksudnya dia terus bergumam ke arahku?” Tanya hatiku kembali. Tangan kananku mengambil makanan ringan yang ku bawa. Ku makan dengan hati menduga-duga atas sikap pria berkaos singlet dan celana pendek yang kini berdiri dan memandangi kerumunan orang menyaksikan atraksi topeng monyet tak jauh dari kami berdua duduk. Ia tersenyum sejenak tapi berlanjut pada wajah cemberut yang dibuat.
Aku tidak mengenal pria ini. Tiga puluh menit yang lalu saat aku mencari tempat istirahat di taman kota, aku melihat dan mendapatinya dia sedang menangis di bangku kosong seorang diri. Tanpa bermaksud untuk menggangunya, aku memilih duduk di bangku kosong dekat dengannya. Aku berharap dapat menghilangkan letih dan suntukku selama setengah hari berkutat di meja kantor kerja dengan memandang pemandangan alami yang tepat di depan mataku kini.
Anak-anak kecil berlari-larian. Beberapa pasang insan yang asyik bermesraan. Tukang jajanan berlomba menjajakan barang. Seorang bapak tua sedang nyaman dengan baca Koran sambil tiduran. Bahkan melihat indahnya air pancuran di tengah-tengah taman.
Dia tidak bersikap aneh ketika aku duduk di sampingnya. Hanya terdengar tangis sesugukan yang berulang-ulang dari mulutnya. Dia pun tidak memandangku sama sekali. Sampai tiba dia berubah sikap dari menangis ke tertawa terbahak-bahak. Lantas sekarang berubah sikap lagi seperti pertama kali aku melihatnya.
“Aku ini manusia bebas. Pergi dan datang sesuka hati. Terbang melayang kemana saja ku suka. Menghampiri setiap desah nafas kehidupan semua insan. Menebar senyum. Berbagi kasih. Menghapus sedih. Aku bebas merdeka.” 
Ia berdeklamasi. Aku jelas mendengarnya. Telingaku menangkap sempurna rentetan kalimat rapi bernada puitis. Aku terkesima. Mataku seratus persen tertuju memandangnya. Memperhatikan semua gerak geriknya yang mirip seorang penyair. 
Dia tahu aku dan beberapa orang di taman kota itu memperhatikannya setelah tadi berekspresi ala seorang penyair sungguhan. Tapi ia tak perduli. Dia tampak asyik dengan dunianya, seorang diri. Kini ia duduk di tanah. Tubuhnya bersandarkan pada badan bangku. Mulutnya kini mengeluarkan kembali susunan kalimat yang membuatku tercengang.
“Aku sedih. Banyak individu terpasang rantai dan pasung. Ketidaksadaran merebak. Mereka yang terjebak. Berpura-pura tidak tahu. Membohongi diri. Naïf. Menipu diri. Asal nafsu puas. Memiliki dan menguasai yang bukan hak ……”
Mataku tak berkedip. Kedua telingaku standby dengan baik. Pikiranku konsentrasi penuh. Aku tak mau ketinggalan satu kalimat pun dari bibirnya yang berwarna sangat hitam. Dan sedang asyiknya menikmati sajian aksi ‘penyair jalanan’ aku dibuat kaget oleh bunyi alarm dari hp. Ku matikan buru-buru bunyi alarm hp dan ku lihat jam. “Ya Tuhan sudah jam satu. Berarti aku harus masuk kantor. Tapi sayang kalau ini aku lewatkan, rugi. Jarang-jarang bisa nemuin aksi teater penyair jalanan. Gimana ya ? masuk atau liat orang ini aja.” Ucap batinku dalam keraguan. Asyik berpikir untuk memilih, lagi-lagi aku dikejutkan oleh suara yang kini bersumber dari pria ‘unik’ itu.
“Hahahahahaha …… hahahahahaha ……. Hahahahahahaha ……” ia tertawa kencang sekali. Melebihi volume tawa sebelum ia bernyair ria. 
Ku putuskan untuk tetap berada di taman kota. Aku tak mau ketinggalan atraksi jarang seperti ini. Ku perhatikan ‘penonton’ gratisan bertambah jumlahnya. Namun sang penyair (akhirnya ia ku sebut sang penyair karena atraksinya ini) tetap tak menggubris kehadiran mereka. Ia terus saja tertawa dengan ekspresi wajah seperti menyepelekan, menghina, mengebiri bahkan juga melecehkan. Aku tak tahu makna sesungguhnya dari ekspresi wajahnya tadi. Hanya dialah yang tahu. Biarkan saja. Tiba-tiba di tengah tawanya yang menggelegar ia mengeluarkan bait-bait indah lagi.
“Aku memang orang kecil. Hartaku tak banyak. Jabatan tak punya. Rumahku adalah hamparan bumi. Makananku adalah belas kasihan orang. Pakaianku adalah nurani insan. Nafasku adalah kebebasan. Ikhlas adalah jiwaku. Aku memang orang kecil. Tak ada kekuasaan. Tak punya kewenangan. Aku bangga. Aku senang. Aku ridho. Aku memang orang kecil. Banyak orang melihat tapi acuh. Banyak orang mendengar tapi tak perduli. Banyak orang prihatin tapi pura-pura. Aahaa ….. aku ini orang kecil.” 
Ia menutup kalimat terakhir dengan menyilangkan kedua tangan di atas dada. Tetesan air bening keluar dari kelopak matanya yang sayu. Semua terkesima. Beberapa orang spontan menghampiri dan memberikan ‘uang jasa’ kepadanya. Aku pun beranjak dan ingin melakukan hal serupa. Tapi baru dua orang yang memberikan, ia bereaksi keras. Hal yang tak terduga terjadi lagi. Ia melempar pemberian ‘uang jasa’ tersebut ke arah sang pemberi.
Lalu ia beranjak berdiri dan pergi. Sejenak ia meminum air pancuran sebagai pelepas dahaga. Kemudian berjalan melintasi kerumunan orang. Aku berusaha mengikuti langkahnya. Diriku dibuat penasaran dengan tingkahnya. Tak kuhiraukan panggilan telepon dari teman kantor. Ku biarkan sepeda motorku terparkir di taman kota. Aku tetap berjalan. Aku berniat mengenal lebih dekat sosok pria ‘misterius’ ini. Entah bagaimana caranya. Aku harus mengenalnya.
Sampai di perempatan jalan raya terlihat ia berhenti sebentar. Kemudian melanjutkan perjalanan ke arah timur, pikirku ia menuju ke arah lapangan sepak bola. Mata dan langkahku terus mengekor. Dan dugaanku benar, ia menuju ke lapangan sepak bola. Sesampainya di sana, matanya berputar mengelilingi lapangan. Setelah mendapati tempat yang di inginkan, dia rebahan. Memejamkan matanya. Aku diam mengamati. Tak ingin menggangu. Membiarkan dia istirahat.
##
Hampir dua jam ia terlelap tidur. Aku setia menemani dari jarak kurang lebih sepuluh langkah dan telah menghabiskan 2 gelas kopi liong plus satu bungkus rokok.
Tepat pukul lima sore ia terbangun dari tidurnya. Raut wajahnya tampak kaget ketika mendapati seseorang sedang mengamatinya tak jauh di sampingnya. Namun setelah kesadaran pulih penuh dan mendapati orang yang mengamatinya adalah aku (mungkin baginya aku bukan lagi orang asing karena tadi di taman kota sudah saling melihat), raut wajahnya berubah tenang. Mendapati wajah dan ekspresinya demikian, aku memberanikan diri mendekatinya. Namun sebelum sampai pada tujuan, ia berucap:”Ngapain ngikutin gua …?” suaranya datar. Tak ada ekspresi marah. Tapi dingin. Langkahku terhenti seketika.
“Maaf kalau saya udah ngikutin abang.”Ucapku singkat sambil melangkah mendekatinya. Bagiku raut wajahnya menandakan sinyal baik untuk bisa duduk bersamanya.
Dia diam tak berkomentar. Mulutnya menguap. Matanya kemudian memandang ke anak-anak yang sedang bermain bola. Ia lalu tersenyum. 
Aku kini duduk tepat berada di sampingnya. Ku beranikan untuk memulai percakapan dengan berbasa-basi.
“Mau rokok bang?”
Hening. Matanya masih tertuju ke lapangan.
“Minum kopi bang ..” 
Ia menoleh. Sudah dingin. Tapi ia mengambil segelas kopi itu dan meminumnya. 
“Yes … !!”Ucap batinku mendapati respon seperti itu. Ku lihat segelas kopi dingin itu langsung habis tak tersisa. Aku semakin penasaran dengannya. Mendapati tingkah polah di luar kebiasaan yang orang lain kerjakan dari tadi di bangku taman kota sampai sekarang di lapangan. Tapi aku mencoba menenangkan diri. Tak mau buru-buru. Takut salah langkah. Nanti malah gagal dari rencana semula.
“Asyik ya … masih bisa main bola anak-anak itu ? kataku memulai obrolan.
Ia meringis seperti menahan sakit saat  mendengar ucapanku.
“Ngapain ngikutin gua ?” tanpa memandangku ia bertanya lagi.
Aku kaget mendapati pertanyaan demikian. Ku coba untuk tersenyum. Memberikan kehangatan dan keakraban kepadanya.
“Loe nggak kenal gua. Ngapain harus ngikutin? Ngga ada yang perlu kita omonginkan? Mending loe balik !”
Benar-benar aku dibuat tak enak diri dengan ucapannya. Otakku berputar mencari jawaban yang nyaman untuk diriku dan dirinya. Namun belum aku mendapati jawaban dari pertanyaannya, ia sudah berbicara lagi.
“Gua orang jalanan. Dari kecil hingga sekarang gua tumbuh di jalanan. Artinya gua bukan apa-apa buat loe. Jelas ? sekarang gua harap loe pergi !!!!”
Ia memandang kepadaku. Kulihat warna merah di kelopak matanya. Tak lama, ia kembali memandangi lapangan dan anak-anak yang sedang bermain bola.
“Bukan begitu bang .. maaf kalau saya mengganggu. Saya memang tidak kenal abang, tapi sekarang saya jadi pengen kenal abang.”
“Pengen kenal gua? Kenapa? Apa pentingnya buat loe ma gua? Loe ada-ada aja …”
Aku mengumbar senyum. Ku ambil sebatang rokok dan mengisapnya. Kekakuan dan ketegangan yang tadi kurasa perlahan hilang. Kutawarkan rokok kepadanya. Sekarang ia menolak. “Ah .. mungkin dia tidak ngerokok” ujar batinku.
“Yaaa buat abang mungkin ngga penting. Tapi kalo buat saya, amat penting. Saya pengen kenal lebih dekat dengan abang.” Jawabku
Ia tertawa lantas mengumpat:”Penting? Yang benar loe? Hahahahahaha …. Dasar aneh loe !!”
Aku ikut tertawa. Ia semakin geli mendapatiku ikut tertawa. Kami berdua tertawa kencang. Beberapa anak menghentikan aktivitasnya sebentar untuk sekedar melirik dan melihat tingkah laku kami yang mungkin menurut mereka aneh karena tertawa keras berdua saja di sore hari, di lapangan sepak bola lagi.
Kami berdua lalu menghentikan tawa.  Tiba-tiba dia pukul pundakku dan memerintahkan suatu perintah yang aneh. Aku disuruh segera berlari mengelilingi lapangan tiga kali dengan mengisap dua batang rokok. Spontan aku melongo mendapati perintah itu.
“Mau nggak? Kalo ngga mao, loe mending pulang aja .. jangan di sini !!”
Aku kaget mendengarnya. Reflek, aku berdiri cepat dan menyalakan dua batang rokok baru lantas berlari sekencangnya mengelilingi lapangan. Ia tertawa lagi saat aku melakukan perintahnya. Sementara dalam hati, aku ngedumel, “apa maksudnya nie orang?”
Saat mendapat satu putaran dan melintas di depanya. Terdengar ucapan kencang darinya,:”Loe kalo kagak ikhlas larinya, mending berhenti dan pulang aja ….”
Mendengar demikian. Tenagaku bertambah. Kupercepat daya lariku. Tak ku pedulikan anak-anak dan orang di sekitar lapangan menatapku aneh. Maklum, aku masih berseragam kantor rapi lengkap dengan segala atributnya. Tentu aku menjadi bahan tontonan gratis yang jarang sekali bisa di saksikan setiap sorenya di lapangan ini. Unik tentunya.
Di putaran terakhir, nafasku tersenggal-senggal. Kecepatan lariku melemah. Berulang kali aku batuk. Entah apa yang kurasa saat itu. Yang pasti aku ingin cepat duduk sambil berselonjorkan kedua kaki yang mulai lemah dan pegal-pegal ini.
Menyaksikan pemandangan demikian, beberapa ibu-ibu dan anak-anak yang sedari tadi menonton segera bertepuk tangan menyemangatiku. Mereka berteriak: “Ayo … Ayo … Ayo … Ayo … !!!”
Aku jadi geli. Segera ku tancap gas. Aku berlari dengan kencang sekuat tenaga yang tersisa. Tinggal beberapa meter lagi aku tiba di garis finish, yang diciptakan olehnya. Dan saat kedua kaki menginjak garis finish, ia merangkulku dan berteriak kencang.
“Hebat … sungguh hebat …. Setiap hari kau lakukan kegiatan seperti ini. Aku yakin tubuhmu  akan sehat dan kuat. Dan penyakit batukmu pun akan sembuh. Percayalah padaku …! Hehehehee ….. hebaaaatttt !!!!!”
Setelah mengucapkan itu, ia lalu pergi begitu saja meninggalkanku yang masih kecapean. Aku tak mau kehilangan dia. Segera aku beranjak dan mengejarnya.
“Mau kemana bang ? jangan tinggalin saya gitu aja doung … saya kan masih capek ? kaki saya aja lecet nie …”
Dia Cuma tersenyum sambil terus berjalan. Terpaksa, aku pun mengikuti setiap jengkal langkahnya. 
Kumandang azan maghrib berkumandang dari masjid yang baru saja kami lewati. Langkah kami terhenti pas sampai di terminal kota. Ku perhatikan suasana terminal masih cukup ramai. Beberapa angkotan kota masih setia ‘ngetem’ menunggu calon penumpang. Beberapa calo ‘timer’berteriak-teriak memanggail dan mengajak beberapa penumpang yang lewat di depan mereka. Suasana riuh.
Dan anehnya tanpa memandangku terlebih dahulu, dia pun lalu berteriak kencang. Tak mau kalah dengan suara calo ‘timer’. Tapi bukan untuk mengajak calon penumpang. Dia berteriak dengan isi materi yang lain.
“Kalau kau tanya siapa diriku ? 
Jawabku adalah angin
Kalau kau tanya kemana arahku ?
Jawabku adalah bebas
Kalau kau tanya apa mauku ?
Ku jawab aku ingin terbang
Melintasi seluruh alam
Menebar benih kebajikan dan perdamaian
Merengkuh makhluk-makhluk tak bertuan
Dengan cinta dan kasih sayang
Aku adalah ‘pembebasan’
Kau jauhi diriku
Ku dekati dirimu.” Ia menutup kalimatnya dengan menjatuhkan diri ke jalan.
Kedua mataku menitikan air mata. Ku rangkul tubuhnya yang tergolek di jalanan. Semua mata memandang. Aneh. Ku berjalan sambil menenteng dirinya. Kami tertatih. Pelan. Sedikit demi sedikit.
Di beranda sebuh toko mainan yang sudah tutup, kududukan tubuhnya. Fisiknya sangat lemah. Tangan kanannya memegang perut tipisnya. Bibirnya gemetar. Wajahnya pucat. Tapi dia tersenyum menatapku. 
Aku sadar dia lapar. Segera aku beranjak untuk berlari ke arah warung nasi untuk membelikannya makanan. Butuh waktu lima belas menit untuk aku bisa kembali ke tempat dia sedang beristirahat. Tapi apa daya. Sesampainya aku, terlihat ia sedang memejamkan mata. Nikmat sekali. Tak merasa terganggu oleh bisingnya suara mobil dan teriakan-teriakan tak jelas di terminal. Matanya terpejam tenang. senyum terakhir aku melihatnya, masih mengembang manis. 
Aku duduk di sampingnya. Melihat dengan seksama raut wajah mudanya. Tak cukup sabar, aku berinisiatif untuk membangunkannya. Aku tak tega melihat wajah pucatnya yang seolah ingin berbicara ia butuh asupan makanan.
Namun sekali, dua kali bahkan sampai lima kali tubuhnya aku goyang-goyang, ia tetap tak bangun. Aku cemas. Perasaanku berpikiran macam-macam. Ku dekatkan jariku ke hidungnya berharap masih ada nafas yang tersisa. Tapi tak kudapatkan. Ku pegang urat nadinya, tak bergetar. Pupus sudah harapan. Kini ia tinggal kenangan. Spontan mendapati hal demikian, aku berteriak. Menangis. Mengguncang-guncangkan tubuhnya berharap ia bangun kembali. Tapi tak ada respon. 
Aku lelah. Aku capek. Ia tak bangun.
Orang-orang terminal sudah mengerumuniku. Mereka seolah tak percaya, orang yang baru saja berteriak menjelaskan identitas dirinya secara samar telah meninggal dunia.
Aku bingung. Mereka menghujaniku pertanyaan. 
Sadar aku tak ada yang kenal. Kubawa jasadnya meninggalkan terminal. Entah kemana arahnya. Yang pasti aku berniat menggurusi hingga menguburkan jasadnya. Malam ini juga.
##
Aku menunduk lemas di kantor polisi. Tak kuhiraukan hilir mudik orang-orang yang berkepentingan di kantor polisi. Air putih yang sedari tadi di sediakan petugas, tak ku jamah sedikitpun. Pikiranku masih pada jasad sang penyair yang diambil alih oleh petugas kepolisian saat aku membawanya keluar dari terminal. Mereka mencegatku. Lalu mengambil jasad dan menggiringku ke kantor polisi untuk di periksa.
Tadinya aku menolak. Melawan sekuat tenaga untuk tetap bisa membawa dan menguburkan jenazah itu. Tapi apa daya, kekuatanku tak seimbang untuk melawan tiga orang petugas kepolisian.
“Ahhh …. Bagaimana nasib jenazah sang penyair ? aku masih belum sempat mengenal dan belajar dengannya …. Padahal aku ingin bisa menjadi penyair bagus seperti dirinya … semoga ia tenang di alam sana … amin ….” bisikku dalam hati.





Tidak ada komentar:

Pengikut

S e l a m a t D a t a n g di Cielung Dkils

TAMU "Gelisah"

free counters