Minggu, 25 Januari 2015

Badai Hidup

Dkils- Gelombang badai silih berganti dengan keteduhan yang nyaman, pelayaran abadi kehidupan pun terus berlanjut, sementara sedih dan senang datang berganti menerpa jiwa dan tubuh yang belum dalam kondisi “sehat secara utuh”. Orang tua tetap menjadi nahkoda penakluk segala perubahan cuaca, semakin tangguh berkelit melintas badai, maupun tabah untuk tetap tersenyum menghadapi keteduhan yang mengandung bibit topan. Tapi itu dulu, dan kini ?

Masih tepat seperti biasanya, ia datang tepat pada waktunya, pukul 2 siang hari. Padahal hari ini hujan turun amat lebat. Rupanya itu tak menggangu prinsip hidupnya untuk bisa menjadi orang yang selalu datang tepat waktu sebagaimana janji yang telah terlontar dari mulut busuknya. Maaf berbicara seperti ini, sebab aku tak tahan kalau mengingat sikap buruknya terhadap keluargaku. Tapi aku jujur mengakui, ini salah satu kelebihan diantara berjuta kekurangan yang ada pada sosok pria yang memiliki tubuh gagah nan kekar.

Aku hidup dengan emak yang berumur kurang lebih 50 tahun dan satu kakak perempuan yang telah berumur 17 tahun. Aku sendiri baru berumur 15 tahun. Aku dan kakak berhenti sekolah karena tak memiliki biaya. Jangankan untuk biaya sekolah, dapat makan satu kali sehari saja sudah beruntung. Kami hidup sebatang kara setelah di tinggal Bapak yang menikah lagi dua tahun lalu. Melihat kenyataan itu, emak kini dilanda sakit. Tak tahu apa jenis penyakitnya. Sebab, semua dokter bingung dengan penyakit yang didera emak. Katanya “Penyakit emak, tak ada dalam dunia kedokteran”. Aku jadi heran oleh penjelasan dokter. Memang tidak ada yang aneh dalam fisiknya. Semua terlihat normal. Tapi kalau sudah menjelang malam, rasa sakit itu tiba-tiba datang menghampiri. Biasanya emak akan mengerang keras menahan sakit yang berpusat di kepala, kadang juga di perut.

Sehari-hari aku dan kakak bekerja di jalan raya menjual koran. Terkadang kalau koran sudah terjual habis kakak menyelingi dengan bekerja sebagai pengamen bersama dua kawannya. Kakak memang bercita-cita banget ingin menjadi penyanyi. Ia ingin seperti Siti Nurhaliza, artis Malaysia yang memiliki suara merdu. Setiap hari kakak selalu bersenandung mengasah suaranya. Berharap vokalnya kian merdu dan enak untuk didengar.

##
Ia berdiri di depanku, dan langsung meminum habis air teh yang kusediakan. Aku dibuat terperanjat oleh sikapnya. Bayangkan, air teh yang kusediakan adalah air yang baru saja kuseduh. Aku tak habis pikir olehnya. Kekaguman ku kepadanya karena telah mempertahankan prinsipnya untuk menjadi orang yang tepat waktu, bertambah setelah melihat kesaktiannya meminum air yang baru saja dimasak. Subhanallah.

Ia lalu memanggil dan mempertanyakan kemana kakakku yang bernama Asih berada. Setahunya, sudah dua bulan ini ia tak melihat paras ayu nan elok milik wanita-wanita melayu yang ada pada kakak. Aku diam ditanya hal itu. Ia tak tahu sebenarnya kakak sudah 3 bulan lebih meninggalkan rumah untuk menghindari lelaki hidung belang yang ada di depan mataku ini. Berdalih keluarga kami tak mampu membayar uang, ia meminta tebusan dengan tubuh dan jiwa kakakku. Sungguh lelaki tak tahu malu. Asal tahu saja, di rumahnya yang mirip istana presiden di Bogor itu sudah tertampung 3 orang istri berparas ayu nan seksi. Belum lagi, keberadaan wanita-wanita di sampinya yang tak memiliki status jelas dengannya. Sungguh memalukan lelaki seperti ini. Semoga Tuhan cepat membuka pintu hatinya.

Ia kembali bertanya kemana Asih? Aku menjawab dengan penawaran mengajak Tuan Sugeng untuk makan mie. Ia tertawa mendengar tawaranku.

“Kau pikir aku ini orang miskin yang tak bisa makan sepertimu. Enak saja. Jangan coba mengalihkan pembicaraan” begitu tuturnya.

Aku tentu saja kaget dan takut mendengar gertakannya.

“Di mana Asih? Kasih tahu aku ! jika tidak, kau dan emakmu yang lumpuh itu harus segera pergi dari rumah ini”

Aku diam saja.

“Hai … kau tuli ya?” Ia menghampiriku.

“Saya tidak tahu Tuan, kakak cuma bilang mau cari uang untuk bayar utang pada Tuan”

“Jangan coba-coba kau bohongi aku”

“Sumpah Tuan”

“Aku tak percaya, cepat kau beritahu aku atau kuhajar kau sekarang juga !”

Aku lantas menangis. Kencang. Melebihi volume suara hujan yang mulai mereda.

“Hai diam.. ! Kau malah menangis, kau pikir aku kasihan melihatmu menangis”

Aku tetap menangis kencang. Terdengar samar batuk emak, juga rintihannya. Aku jadi berhenti menangis.

“Tuan beri kami kesempatan satu bulan lagi untuk melunasi hutang yang ada, saya janji bulan depan akan melunasinya”

“Bulan depan, bulan depan. Kau terus membohongiku”

“Sumpah Tuan, bulan depan. Sekarang kami tak punya apa-apa. Kami tak tahu harus membayar dengan apa?”

Hujan mereda. Batuk emak semakin menjadi. Aku tak berani meninggalkan Tuan Sugeng untuk menghampiri emak. Tuan Sugeng berdiri dan mencengkramku.

“Baik, kau kuberi kesempatan untuk yang terakhir kali. Bulan depan kau harus lunasi semua hutang. Kalau memang tidak mampu, bilang sama kakakmu untuk bersedia menjadi istriku. Ku jamin hutang keluargamu lunas semua. Bahkan, ibumu yang sedang sekarat itu, akan aku rawat hingga sembuh. Dan kalau kakakmu tidak mau, segera bulan depan kau dan emakmu angkat kaki dari rumah ini. Camkan itu !”

Ia melepaskan cengkramannya dan berlalu begitu saja dari hadapanku. Tapi tiba-tiba ia menoleh setelah melewati pintu rumah dan berkata: “Aku akan datang tanggal 13 bulan depan jam dua siang seperti ini. Jangan lupa panggil Asih” Ia lantas tersenyum dan melanjutkan perjalanannya. Aku segera beranjak dan menghampiri emak yang sedang merintih menahan sakit.

##
Awalnya beberapa waktu lalu saat emak mulai terserang penyakit aneh pasca ditinggal nikah lagi oleh bapak. Kami bingung harus mencari uang kemana demi pengobatan emak. Berbagai usaha telah kami lakukan demi kesembuhan emak. Mulai periksa ke rumah sakit sampai datang ke tempat penyembuhan alternative. Semua sudah dijalani. Tapi tak menghasilkan apa-apa, sia-sia belaka. Emak masih terbujur dengan penyakit yang dideritanya. Sementara hutang kami menumpuk di mana-mana. Terlebih pada rentenir bernama Tuan Sugeng.

Kami sudah menunggak 2 bulan lebih untuk melunasi hutang pada Tuan Sugeng. Peralatan rumah tangga sudah kami korbankan. Televisi berwarna 14 Inc hasil hadiahku ketika mengikuti lomba jalan sehat tingkat sekolah, motor tua milik Emak yang biasa dipakai jualan jamu keliling, alat-alat dapur sampai pada pakaian peninggalan bapak ludes terjual. Sayang, itu belum mencukupi untuk membayar hutang. Dan akhirnya kakak berinisiatif pergi keluar negeri untuk bekerja sebagai TKI setelah ada penawaran dari Ibu Margono. Tadinya aku menolak. Aku tak mau ditinggal sendiri menemani Ibu. Tapi apalah daya, tekad kakak sudah bulat untuk mengadu nasib di negeri orang demi terbayarnya hutang-hutang yang ada pada Tuan Sugeng. Sebab ia tak mau menjadi pengganti pembayaran hutang dengan menjadi istri ke empatnya.. Dan al-hamdulillah 3 bulan berlalu, kakak selalu rajin mengirim uang untuk keperluan kami sehari-hari.

Aku tidak tahu pasti apa yang dikerjakan kakak di seberang sana sekarang. Sebab setelah ia mengirimi kami uang satu bulan yang lalu, ia tak pernah lagi memberi kabar. Biasanya dua minggu sekali ia memberi kabar sambil menghapus rasa kangen pada kami. Aku pernah mencoba menghubunginya lewat Ibu Margono, tapi tak ada jawaban pasti.

Katanya ia bekerja sebagai pembantu dan baby sitter pada seorang Cina-Arab, tapi itu dulu, sebelum ia mengirim surat terakhir yang pernah ku terima. Pernah suatu hari ia mengirim surat padaku dan bercerita panjang lebar tentang juragannya di sana. Mereka adalah keluarga baik-baik. Di rumah besar nan megah itu berisi 4 orang anggota keluarga Tuan Nashir dan Nyonya Mei di tambah satu orang putra berumur 12 tahun (beda 3 tahun denganku) dan satu orang putri yang baru berumur satu tahun. Sehari-harinya kakak bercerita mengerjakan segala urusan rumah tangga sendiri. Memang, dibalik keramah tamahan dan kebaikan keluarga tuan Nashir, ada ganjalan di hati kakak yang terkadang membuatnya sedih dan menjadi tidak betah untuk tinggal lama-lama yaitu adanya pertengkaran diantara juragannya.

Seperti belum lama ini, kakak menyaksikan secara langsung kejadian saat Tuan Nashir menampar wajah Nyonya Mei hanya karena Nyonya Mei pulang terlambat. Kakak tak sanggup melihat kekerasan itu, terlebih saat Nyonya Mei tak mau kalah, ia lemparkan barang-barang rumah yang ada di sekitarnya kepada Tuan Nashir. Rumah jadi serasa bagai terkena gempa, hancur dan berantakan. Sungguh memprihatinkan.

Kakak berniat untuk keluar dan kembali ke rumah. Tapi ia tak cukup tega untuk meninggalkan kedua anak juragannya. Bagi kakak, bagaimana mungkin ia meninggalkan kedua anak kecil yang tak berdosa itu dalam keadaan orang tua yang kacau balau? Ia tak tega melakukannya. Apalagi sekarang, saat sudah seminggu ditinggalkan oleh Tuan Nashir untuk mengungsi sementara dan menenangkan diri setelah terjadinya pertarungan hebat antara keduanya.

Nyonya Mei hanya tersenyum hambar, seperti ada pada garis tegang antara bahagia dan bangga kepada kakak atas kesabaran mengurusi keluarganya yang sedang carut marut.

Itulah isi cerita pada surat terakhir yang kuterima dari kakak. Aku turut sedih mendengar ceritanya. Terkadang aku ngeri juga mengingat kejadian masa lalu yang juga menimpa keluarga kami. Mirip dengan keluarga Tuan Nashir. Aku membayangkan seandainya aku menjadi atau berposisi sebagai Ibu waktu itu, tentu akan memiliki perasaan yang hancur sangat menyaksikan suami tercintanya berlabuh pada wanita lain. Makanya wajar ketika itu, ibu amat sangat marah mengusir bapak dari rumah saat bapak membawa istri keduanya dan mengajak untuk tinggal bersama dalam satu rumah dengan kami.

“Kau berani sekali Juki !!, membawa istri simpananmu kerumah peninggalan orang tuaku. Ini adalah rumahku, bukan milikmu !! Jangan harap kau bisa tinggal di sini bersama wanita simpananmu itu. Pergi kau dari sini dan jangan pernah kembali lagi !!” kata Ibu mengusir Bapak tempo dulu.

Aku menyaksikan kejadian itu bersama kakak. Kami menangis dan saling berpelukan. Ibu tak kulihat lagi sebagai sosok wanita yang tabah, sabar dan penyayang. Saat itu tampak ibu seperti seorang preman yang telah menenggak minuman keras lebih dari dua botol. Amat menakutkan. Bapak tak terima diperlakukan seperti itu, apalagi banyak warga yang menyaksikan. Jiwa lelakinya membara menahan malu telah diperlakukan seperti maling ketahuan lantas diarak di depan umum. Ia marah dan memukul ibu. Ia masuk dan mengambil barang-barang milik kami yang diakuinya sebagai miliknya. Ibu pun tak mau kalah. Di rebutnya kembali barang yang sudah ada di tangan bapak. Pertengkaran fisik pun terjadi hingga akhirnya ada warga yang memisahkan dan serta merta bapak mengucap talak tiga kepada ibu lalu pergi jauh bersama istri keduanya. Tanpa membawa apa-apa. Hanya rasa malu belaka.

Semenjak itulah, tak lama kemudian ibu sakit-sakitan. Sakitnya aneh. Di mulai dari sakit yang dirasakannya pada bagian kepala, kemudian lari ke perut, selang kemudian kedua kakinya tak bisa digerakkan untuk berjalan. Dan kini ibu tak bisa bicara. Hanya terbujur di tempat tidur menahan sakit yang diderita seorang diri. Ibu hanya bisa menitikan air mata jika ingin berbicara kepadaku. Sungguh kondisi yang menyedihkan. Terlebih kini kakak tak jelas keberadaanya. Aku tak punya lagi sandaran untuk menopang hidup sehari-hari terlebih untuk melunasi hutang pada Tuan Sugeng. Bayangan caci maki dan usiran untuk pergi meninggalkan rumah bulan depan oleh Tuan Sugeng, menyeruak masuk alam pikiranku. Aku jadi ngeri membayangkannya. Kini aku hanya bisa berdoa kepada Tuhan untuk selalu menjaga dan melindungi kami dari segala kesulitan dan mara bahaya yang datang.

##
Satu minggu lagi batas waktu yang ditentukan Tuan Sugeng untuk melunasi hutang segera tiba. Aku tak tahu harus berbuat apa. Kehadiran kakak yang kami tak kunjung tiba. Aku cukup berpasrah diri. Ingin rasanya aku bekerja mencari uang seperti dulu, tapi tak bisa. Kedua kakiku cacat saat berumur 13 tahun setelah keduanya diamputasi karena kecelakaan saat aku berjualan koran di jalan raya. Aku tak mampu mengingatnya, karena kejadiannya terlalu cepat. Aku hanya ingat, saat kulihat lampu kuning akan berganti merah, segera aku mendekati calon pembeli yang ingin berhenti menunggu lampu hijau menyala untuk dapat melanjutkan perjalanan, tapi tiba-tiba dari arah belakang sepeda motor berlari amat kencang memanfaatkan sepersekian detik untuk menghindari lampu merah yang baru saja menyala hingga akhirnya menabrak dan menciderai kakiku. Untung ia mau bertanggung jawab.

Pagi ini aku hanya bisa duduk di kursi roda pemberian orang yang telah menabrakku. Memandang jauh keluar dari jendela rumah berharap-harap cemas akan kehadiran sang dewi penolong. Tapi Aku tak betah dengan kegiatan ini. Segera ku beranjak ke ruang tengah dan menuju meja belajar untuk melakukan aktivitas menulis sambil menunggu ibu.

Selang beberapa waktu ada yang mengetuk dari pintu. Aku segera menghampiri. Saat kubuka, ada seorang petugas pos berdiri dengan senyum sumringah. Ia memberiku kertas untuk menanda tangani berita acara bahwa ia telah melaksanakan tugas pokoknya. Setealh itu ia menyerahkan amplop rapi bertuliskan “Panitia lomba menulis cerpen tingkat anak-anak se kota Depok”. Aku dag-dig-dug menerimanya. Kemudian pak pos pamit pergi. Aku mengiyakannya. Lalu kembali ke ruang tengah.

Aku kaget melihat isi surat. Di dalamnya tertera pengumuman nama-nama pemenang lomba menulis cerpen tingkat anak se kota Depok, yang di situ namaku berada pada urutan paling atas. Aku segera mengucap syukur pada Tuhan. Buru-buru ku dekati kamar ibu dan memberitahukannya. Ia merespon dengan senyum. Aku senang. Sangat senang. Hilang sudah rasa kekhawatiran menunggu datangnya Tuan Sugeng. Sebab kini aku sudah memegang uang lebih dari hadiah yang ku peroleh sebagai pemenang.

Puji syukur pada Tuhan. Tak ku sangka, niat coba-coba saat itu mengirim dan mengikuti lomba penulisan cerpen ternyata menjadi jalan untuk aku dan keluarga keluar dari permasalahan yang membelit. Aku bertekad, untuk terus rajin menulis. Dan meyakinkan diri untuk menjadi orang sukses walau dengan kondisi fisik tak sempurna. Gairah hidup kembali muncul. Rasa optimis menjalani hidup dengan lebih baik tanpa selalu bergantung dengan orang lain menyeruak dan menjadi benih-benih semangat dan motivasi diri. Segera kutanamkan dalam sanubari, “Aku harus jadi penulis sukses, itu yang bisa ku lakukan sekarang. Dan dunia pasti kan ku kuasai”

Tidak ada komentar:

Pengikut

S e l a m a t D a t a n g di Cielung Dkils

TAMU "Gelisah"

free counters