Jumat, 29 Mei 2009

Surat Petani dari Jepang

Wakayama, 16 Mei 2009
Kepada Yth,
Bapak RT Nanang & Teman petani
Di kelompok Tani Kalilicin

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Alhamdulillahi Robbil ‘alamin akhirnya sampe juga di Jepang. Buat teman-teman petani Kalilicin, gimana pada sehat semua. Gimana panennya? Mahal ya harga belimbing, jangan-jangan lagi pada nyela, belimbingnya bisa-bisa 1kg harga 10.000, amin.

Pak RT dan teman-teman di Kalilicin, maaf baru bisa kirim surat sekarang, sebab kemarin-kemarin ngga sempet, sibuk banget. Sampe-sampe ngga sempat telepon atau kirim surat.
Pak Yusuf gimana kabarnya “kedongkal” masih ada atau gemblong Mpok Nemblom masih ada?
Alhamdulillah di Jepang saya sehat wal afiat dan bisa menjalankan tugas dengan baik. Untuk itu saya minta doanya terus biar diberi kesehatan, biar bisa menjalankan amanah dari Negara Indonesia, Jawa Barat, Depok dan kelompok Tani Kalilicin. Amin.

Oh iya... Gimana pertemuan bulanan/rapat malam rabu masih kumpul kan?terus gimana perkembangan PUAP, masih tambah maju? Amin. Siapa dulu dong managernya, Pa Ismail.
Oh iya, gimana kabar Ema? Sehatkan? Latif, Fuad, Epoy, Suryadi Cielung, Makmun, gimana sehat? Oh iya ! si Makmun dan kawin belom? Buruan Mun kawin.

Pa Usup juga teman-teman gimana masih sering nonton Sohibul Hikayat nggak? Saya kangen banget nggak denger atau ngeliat lagi ? seneng dan kangen rasanya kalau inget madang siang bareng-bareng di Dapur.

Pak RT Nanang…
Alhamdulillah saya di Jepang dapat di Jeruk, luasnya kurang lebih 5 hektar. Alamatnya di Wakayama (349. Kominami Shimotsu-Cho, Kainan-Shi, Wakayama Jepang) atau saya dapat di propinsi Wakayama, dari Tokyo naik Kanseng (kereta tercepat di dunia) 4 jam sampai Osaka. Naik lagi dari Osaka ke Wakayama 1 jam. Jauh.

Saya sampai di Induk Semang tanggal 24 April 2009. Sebelumnya di Ibaraki 1 minggu dari tanggal 7 April sampai dengan tanggal 15. Kemudian ke Olimpic Center tanggal 15 – 24 April. Di Ibaraki belajar mesin pertanian seperti Traktor, mesin pemotong rumput, mesin semprot dan lain-lain. Pokoknya banyak dan seru. Ngga ada di Indonesia.

Oh iya, saya udah cek di pasar swalayan Jepang bahwa Belimbing ngga ada, untuk pasaran Internasional. Export Jepang kayanya sulit sebab tenggat Residu (obat semprot pestisida) sangat ketat. Kalau saya liat petani kita masih jorok dengan obat pestisida. Tingkat residunya tinggi.

Di Jepang/ di Jeruk, petani menggunakan pestisida dan mereka memakai campur-campur/ dioplos tapi tingkat residunya kecil. Dan itupun penggunaannya tepat sasaran. Contoh bakteri dia pakai sakinday dan seterusnya.

Dalam 1 kali nyemprot, untuk 80are (1 are = 100m) menghabiskan air yang dicampur obat semprot kira-kira 8000-9000 liter, terus nyemprotnya pakai mobil truk kaya Blangwir. Pokoknya seru banget dech…

Oh iya, saya ambil project penelitian di Jeruk yaitu Buah Ujung dan buah Batang pada tanaman jeruk untuk menentukan best Quality: Perbandingan.

Untuk pemasaran di Induk Semang saya merekam menggunakan internet. Lebih canggih lagi. Tapi di Indonesia kayanya belum bisa dikembangkan.

Tolong disampaikan sama teman-teman petani di Kalilicin biar mereka lebih mencintai pertanian dan mencintai petani sebagai pekerjaan bukan sebagai sambilan. Terutama petani-petani muda.

Oh iya.. di Jepang ternyata masalahnya juga sama, yaitu sedikit sekali petani mudanya untuk wilayah ”Shimotsu/Kominami”. Petani mudanya Cuma beberapa orang saja. Salah satunya ada dari Ootosan saya. Dia paling muda umurnya 23/24 tahun. Dia baru pulang magang dari Amerika. Selama 18 bulan/satu setengah tahun.

Saya tinggal di rumah ada 6 orang keluarga Nenek/Kakek, Ibu/Bapak dan 2 orang anak, 1 cewek 25 tahun namanya Mayuko dan 1 laki-laki namanya Tatsuya (23 tahun). Rumah saya di Jepang dekat laut. Kira-kira dari Portal sampai DTC.

Mungkin itu aja informasinya: buat teman-teman saya minta doanya. Biar terus dikasih sehat dan dimudahkan segala urusan.

Cielung jangan lupa kirim Fatihah waktu lagi ngaji dan waktu rapat malam rabu juga kirim Fatihah.

Oh iya pesan saya jaga terus kekompakan di teman-teman petani dan mudah-mudahan PUAP dan P4S nya makin maju terus…

Bang manager “Pa Ismail” maju terus pantat mundur Eeh salah pantang mundur. Lanjutkan PUAP !!

Jangan lupa salam buat Bu Wati dan orang dinas….

Assalamualaikum WR. Wb.

By
Darmuji Boger

Lagi malam senin saya telepon kerumah pak Usup tapi nggak di angkat-angkat jam 7an.
Oh iya telepon saya di Jepang 073-492-1692
Mungkin lebih lanjutnya, bulan-builan berikutnya saya akan kasih informasi lagi buat pak RT dan teman-teman.
Salam buat teman-teman.

Selasa, 12 Mei 2009

Ada Apa Indonesia?

Dkils-Bencana datang silih berganti akhir-akhir ini. Tak mengenal waktu dan tak mengenal tempat. Kita ingat masih ingat kejadian tsunami 3 tahun yang lalu. Yang tak lama kemudian muncul bencana gempa Jogja dan Pangandaran. Ratusan orang meninggal ketika itu. Tak terhitung jumlah kerugian secara materi maupun non materi. Selang beberapa waktu, muncul lagi bencana Situ Gintung(dua bulan yang lalu). Sama dengan bencana-bencana sebelumnya, tak terhitung jumlah kerugian yang diderita. Belum lagi bermunculan bencana aneh dari binatang. Setelah heboh dengan kemunculan flu burung dan unggas kini ada lagi penyakit aneh berbau binatang bernama flu Babi. Bahkan datang lagi dari India, Flu Kuda (tapi belum makan korban manusia). Alhamdulillah penyakit yang ini belum mewabah di Indonesia, tetapi sebuah peringatan tentunya untuk kita bersiap diri menjaga dari segala kemungkinan terburuk yang terjadi. Dan bencana paling serius yang kita hadapi sekarang adalah bencana kemerosotan akhlak(sikap/tingkah laku) di semua kalangan. Bukan saja dari anak-anak dan remaja, orang tua pun semakin jauh dari akhlak yang baik. Ini tentu bencana yang luar biasa dampak dan akibatnya untuk kemudian hari jika kita tidak waspadai dan benahi sejak dini.

Seorang anak kecil yang dengan tidak sopannya membentak-benatak orang dewasa adalah contoh kecil dari semakin rendahnya akhlak baik. Sementara di kalangan remaja, sudah rahasia umum lagi kalau remaja suka minum-minuman keras dan sering tawuran,. ironisnya sikap orang tua semakin masa bodoh (cuek) atau tidak berfikiran bahwa perlunya membina dan mendidik putra-putrinya secara baik membuat catatan kelam dalam perjalanan hidup.

Padahal, kita adalah warga yang merasa bangga, ketika dulu warga Indonesia terkenal dengan keramahtamahan dan sikap rendah hati (ajer) terhadap orang lain. Sikap tolong menolong, saling menghargai dan sikap mau bermusyawarah antara sesama meskipun banyak perbedaan, menjadi poin tersendiri bagi masyarakat luar memandang Indonesia. Pokoknya seolah-olah bangsa kita adalah bangsa yang benar-benar beradab dan berakhlak.

Tetapi seiring kemajuan zaman dan tekhnologi, kenapa bangsa kita kok seolah berubah dari yang terkenal dengan bangsa beradab menjadi bangsa yang biadab?

Rakyat kita sekarang tidak lagi merasa malu dan takut atas tindakan-tindakan yang tidak berprikemanusiaan. Dari tingkat rakyat bawah sampai rakyat atas. Korupsi sudah berakar pinak dan sulit untuk dimusnahkan. Tawuran antar golongan sudah bukan hal yang luar biasa lagi,. tindakan-tindakan criminal yang tumbuh bagai jamur di musim hujan. Mulai dari criminal biasa sampai luar biasa. Dari hal keluarga sampai ke Negara-negara. Ayah membunuh anak, anak membunuh orang tua, orang tua memperkosa anak, guru membunuh murid, murid menindas guru, hamil diluar nikah semuanya sekarang menjadi hal yang biasa dan tidak tabu lagi di mata masyarakat. Masih ingatkan kasus si penjagal nyawa lemah gemulai berasal dari Jombang bernama Rian?. Dan kasus terbaru dari kalangan atas mengenai terungkapnya pembunuhan Nasarudin (Mantan direktur perusahaan swasta) yang tertembak setelah bermain golf ternyata membawa nama seorang tokoh pendekar penegak hukum terjerat didalamnya, bahkan diduga Sebagai otak pembunuhan. Sungguh mengerikan !!

Control social masyarakat sudah tidak efektif lagi. Peran pemerintah pun sudah tidak ada hasilnya. Justru boleh dibilang, merekalah yang harus dan semakin harus dikontrol. Pokoknya yang ada pada masyarakat saat ini adalah “Gua-gua, Elo-elo”. Keadaan ini sudah tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada masyarakat Negara luar. Sulit sekarang kita membedakan mana rakyat desa nan polos dan mana rakyat kota nan beringas? Semuanya sama. Semuanya sudah sulit dibedakan. Problem kota yah problem desa juga. Sampai kapan ini harus terjadi?
Keluarga, lingkungan, pemerintah harus benar-benar kerja extra untuk mengendalikan kondisi ini. Karena faktor ini jugalah yang membuat kondisi seperti itu sekarang .

Hanya berharap pada peran pemerintah? Tidak mungkin !
Berharap pada diri sendiri? Cobalah !
Demi sebuah perubahan sikap yang lebih baik..

PERJALANAN DI JALAN RAYA (ANAK PUNK)

Dkils- Aku terhenti dalam perjalanan panjang hari ini di sudut pasar kota pusat keramaian warga berinteraksi satu dengan lainnya. Sekarang kira-kira jam empat sore lebih tiga puluh menit. Suasana di tempat kebanyakan orang berjualan kebutuhan dapur sehari-hari mulai tampak sepi. Hanya tinggal beberapa pedagang yang bertahan di tempatnya untuk menyambung hidup dengan menjajakan barang dagangan berupa ikan emas, ayam kampung potong, bumbu dapur dan lainnya yang masih tersisa dari tadi pagi.

Aku duduk di latar toko optic yang baru saja tutup setengah jam yang lalu. Sepertinya, hari ini mereka kurang beruntung karena hanya sedikit pelanggan yang datang. Mudah-mudahan hari esok lebih baik dari hari ini. Ucap bathinku untuk toko optic. Ku selonjorkan kedua kaki sambil memijit betis yang tampaknya kelelahan karena perjalanan tak menentu yang baru saja ku jalani. Aku menghirup nafas. Bebauan tak sedap sekitar tidak mampu membuatku mengurungkan niat untuk menghirup nafas demi pencapaian ketenangan hati karena belum mendapatkan hasil sebagaimana tadi malam kurencanakan secara matang di kamar. “Pfuuuuh… !!” ucapku pelan setelah menahan nafas kurang lebih 2 menit yang lalu.

Sudah dua bakwan satu lontong ku santap habis tak tersisa demi mengganjel perut yang mulai keroncongan. Aku menikmati sekali makanan yang dijajakan hampir di setiap sudut pasar. Maklum, makanan ini tergolong memiliki banyak kelebihan di samping kekurangannya. Selain untuk mengganjal perut seperti yang tadi kulakukan, makanan gorengan (begitu orang memanggilnya) ini juga harganya murah terjangkau. Terus makanan ini asyik untuk di lahap sambil mengisi waktu kosong atau sambil menunggu orang. Di tambah makanan ini punya citra rasa yang “berbeda” bagi para pengggemarnya , termasuk aku.

##

Lima belas menit berlalu aku duduk di emperan toko ini. Tak terasa aku melepas lelah sambil mengingat perjalanan hari ini . tak lama aku ingin membangunkan diri siap melangkah menuju rumah. Aku mendengar cekikikan tawa gerombolan anak muda “tanggung” yang sepertinya mereka baru saja “beroperasi” untuk melanjutkan atau meramaikan jalan kehidupan. Entahlah. Aku jadi mengurungkan niat untuk pulang. Ku biarkan pantat berada pada posisi semula. Aku ingin sekali mengetahui , apa yang akan mereka lakukan di tempat yang kira-kira berjarak lima meter dari tempat peristirahatanku..

Mereka menyebut diri sebagai komunitas anak punk. Identitas mereka biasanya dengan ciri-ciri baju dan celana serba hitam dengan ukuran yang sangat ketat. Banyak tindikan di tubuh bagian wajah. Mulai dari anggota tubuh yang biasa ditindik seperti telinga, sampai anggota tubuh yang tidak layak ditindik seperti alis rambut, lubang hidung sampai ke bibir bagian bawah. Luar biasa aneh. Satu lagi ciri khas yang memudahkan kita mengenal identitas anak punk yaitu rambut yang didirikan kencang. Bahasa mereka menyebutnya style “Mohak”. Banyak model rambut mohak ini, tapi aku tak tahu harus bagaimana menerangkannya. Sebab ribet. Yang pasti identitas ini katanya sebagai bentuk perlawanan dari kemapanan.

Oh iya lupa, satu lagi ciri yang amat melekat dengan diri anak-anak punk yaitu dari sisi penampilan mereka tampak sangat kumel, dekil dan sebangsanya. Mereka tak menggubris sepertinya untuk mandi sekedar menyegarkan tubuh lebih-lebih membersihkan tubuh. Atau karena mereka tak punya tempat tinggal. Sebab, sebatas pengetahuanku kehidupan mereka adalah di jalan raya. Atau sekalipun punya tempat tinggal paling banter ya.. di bawah kolong jembatan layang, seperti yang kulihat sekarang. Tapi ada yang ngomong, bahwa sebenarnya banyak juga diantara mereka yang sebenarnya adalah orang yang “berada”. Tapi entah kenapa bergaya seperti itu? Apa karena bosan dengan hidup mewah atau karena tak memiliki kebebasan? Entahlah.

Mereka kini tertawa riang. Melepas lelah, sambil menghitung uang hasil “menjual suara” di terminal dan beberapa lampu merah. Ada yang langsung rebahan, tanpa alas. Sementara dua orang melangkah menjauh dari kerumunan, mereka mendapat tugas khusus untuk berbelanja kebutuhan saat ini. Tak lama mereka kembali dengan membawa tentengan satu kantong plastic berwarna merah berisi makanan gorengan satunya lagi satu kantong plastic berwarna hitam yang berisi air warna kuning butek (keruh). Aku tahu, itu pasti sejenis minuman yang berbau khamar. Yaitu minuman yang memabukan. Oh.. Tuhan.. mereka sama-sama menikmati minuman itu. Tertawa, menyanyi, main cela-celaan, tertawa lagi, bernyanyi lagi dan main cela-celaan lagi. Ini berlangsung lama. Dan kata orang hampir berlangsung setiap harinya. Malah terkadang, sesekali mereka suka mengganggu ketertiban umum seperti bertengkar, dan sebagainya.. oh Tuhan…!

Padahal umur mereka masih sangat muda. Bahkan jauh lebih muda dari umurku. Tetapi kenapa bertingkah seperti ini? Terserahlah mereka beralasan ingin bebas, pingin cari identitas atau apapun itu.. tapi kalau seperti ini terus, mau jadi apa nanti? Mau punya masa depan seperti apa? Istilahnya, aku saja yang kemarin punya kesempatan belajar dan berhasil secara “nilai” (punya gelar), aku belum punya kejelasan hidup. Apalagi mereka. Kalau begini, bahaya dong masa depan mereka, masa depan agama, terlebih masa depan Negara tercinta Indonesia. Naudzhubillah.

Aku jadi teringat masa lalu saat aku ingin hidup seperti mereka. Punya kebebasan hidup, tanpa aturan dan suka-suka sendiri. Untung Tuhan memberi penerang bahwa kita hidup di zaman realistis. Zaman yang nyata. Yaitu zaman yang memiliki salah satu konsep hidup yaitu untuk kita bisa bertahan hidup dan punya hidup yang baik di masa sekarang dan mendatang adalah dengan rajin belajar, bekerja, berusaha dan berdoa. Kalau kita mengabaikan atau meremehkan perkara itu, jangan harap kita akan menjadi orang yang terbaik.

Aku mengusap wajahku setelah sekian lama memperhatikan kegiatan anak punk. Ku ucap syukur kepada Tuhan yang maha Esa atas kehidupan yang lebih “beruntung” dari mereka. Aku tak mau menyesali kegagalan hari ini. Mungkin itu, pelajaran atau pengalaman yang kudapat dari perjalanan mencari jalan untuk “perbaikan hidup” hari ini.

Aku menghela nafas panjang. Kupaksakan diri yang mulai merasa enjoy duduk lama di emperan toko ini untuk bangun dan melangkah pulang mempersiapkan diri untuk besok membuka, mencari dan menembus perjalanan hidup baru.

Rabu, 06 Mei 2009

ORANG TUA DHOLIM, ANAK DURHAKA

Dkils- “Nakal”. Itulah yang selalu dilontarkan orang tua ketika melihat anaknya melakukan sesuatu diluar batas kemampuannya yang berkonotasi pada perbuatan buruk. Dimarahi, dijewer, dicubit, ditampar, dipukuli, dikurung bahkan sampai ada yang ekstrim hingga dibunuh akan dilakukan orang tua jika anaknya melakukan hal-hal yang biasa disebut nakal tersebut.

Aneh memang di zaman modern seperti ini, kalau masih ada orang tua yang masih melakukan hal-hal tersebut diatas. Dikatakan aneh, karena sekarang bukan lagi zaman tempo dulu yang mengurus dan mendidik anak berdasarkan pengalaman saja. Sekarang banyak anjuran-anjuran baik melalui tulisan di media masa, media elektronik, seminar bahkan sampai ada ilmu pengetahuan yang mengajarkan bagaimana kita orang tua bersikap dan mendidik anak dengan baik. Yang tidak membawa kepada penderitaan anak. Baik untuk dimasa sekarang ia “dihukumi” atau masa pasca dihukumi (jadi dewasa dan orang tua).

Tajuk Rencana Kompas (Rabu, 25-01-06) menulis mengenai “kekerasan menghangat lagi” yang salah satunya berbentuk kekerasan terhadap anak. Ketika kekerasan terhadap anak sering terjadi akhir-akhir ini dan mungkin sudah tidak dapat dihitung lagi jumlahnya. Tajuk Kompas menulis “ Apakah naluri kekerasan sudah jadi “tuan” dalam menyelesaikan persoalan?”

Kita tentu harus bersama-sama menjawab “tidak”. Terlebih pada penyelesaian kasus kekerasan terhadap anak karena dianggap nakal oleh orang tua. Sebenarnya anak tidak tahu apa-apa ketika ia melakukan sesuatu. Ia tidak tahu dan tidak menyadari apa dampak yang ia peroleh setelah melakukan itu. Mereka masih belum bisa membedakan mana perbuatan baik dan mana perbuatan buruk bagi mereka dan orang lain. SEKALI LAGI MEREKA BELUM TAHU !

Lantas, apakah dengan ketidaktahuan mereka atas apa yang mereka lakukan kemudian kita (orang tua) masih mau memberikan hukuman kekerasan atas tindakan mereka yang kita sebut nakal?

Jelas saja tidak. Kita harus berfikir jauh kedepan mengenai dampak yang akan menimpa anak-anak jika kita senantiasa memberikan hukuman atas segala yang mereka lakukan . Perasaan takut bersalah dan rendah diri dalam melakukan atau mencoba perbuatan-perbuatan baru, merasa tidak disayangi lagi oleh orang tua, semakin berani dan melawan orang tua sampai tidak menutup kemungkinan akan semakin menjadi lebih nakal karena sudah terbiasa akan segala hukuman dari orang tua. Itu semua adalah resiko dan konsekwensi yang harus kita (orang tua) terima dan dihadapi anak-anak.

Kalau memang demikian, kita semua harus mengambil peran. Pengakuan salah mesti diikuti semangat dan praktik memperbaiki (tajuk Kompas). Langkah kongkretnya hukuman kekerasan bukan lagi sebagai “tuan” dalam menyingkapi anak berbuat “nakal”. Sudah saatnya kita mencoba menjalin komunikasi dengan anak-anak secara kontinyu dan mencoba memberikan kebebasan kepada anak dalam melakukan sesuatu kegiatan sambil terus diiringi dengan pengawasan dan bimbingan sebagai orang tua, teman, sahabat, kekasih bagi mereka tentunya.

Ingat ! tugas orang tua bukan hanya untuk menyuruh agar mereka menurut kehendak orang tua. Orang tua hanya bertugas memberi dan membimbing agar anak tidak terperosok kedalam jurang kejelekan. Semoga anak tidak menjadi durhaka pada orang tua. Dan semoga orang tua tidak dholim terhadap anak. Amin

Minggu, 03 Mei 2009

Perjalanan di Jalan Raya (bag 1)

Dkils- Aku berjalan di sepanjang jalan raya margonda Depok Jawa barat. Seorang diri. Tiada kawan yang menemani. Sebelah kananku berlalu lalang berbagai jenis kendaraan darat. Tak bisa disebut satu-satu namanya. Mereka semua dalam jumlah yang tak terkira. Semua dalam satu aktifitas, berjalan di jalan raya, yang belum lama ini diperlebar luasnya ke sebelah kanan sedikit, kira-kira 15 meter dari sebelumya. Wajar, ini karena volume kendaraan yang meningkat setiap harinya di jalan raya.. Entahlah, bagaimana mereka bisa memiliki dan menggunakan kendaraan pribadi secara enak dan nyaman, padahal krisis global sedang menimpa dunia. Orang miskin dan kelaparan bertambah. Korban PHK tak terhitung jumlahnya, pengangguran.. jangan Tanya lagi. Itu termasuk aku. Imbasnya …. Sebelah kiriku berlalu lalang makhluk bernama manusia. Ramai. Walau menurut jam kerja ini belum waktu jam istirahat apalagi pulang.

Aku berjalan di sepanjang jalan raya Margonda. Seorang diri. Hari ini. Melangkah gontai dengan arah tujuan yang tidak pasti. Berharap semoga Tuhan memberikan “jalan” di depan nanti. “Jalan” penerang bagi gelapnya lembar catatan hidupku. Aku melenggang terus. Tak peduli dengan yang lain. Sempat terlintas baris lirik-lirik lagu bang Iwan Fals yang sempat jadi top saat tempo dulu. Bahkan, substansinya masih relevan sampai sekarang. Ku senandungkan lirik itu, mengusir kesepian hati ini.

Berjalan seorang pria muda
Dengan jaket lusuh di pundaknya
Di sela bibir tampak mengering
Terselip sebatang rumput liar
Jelas menatap awan berarah
Wajah murung semakin terlihat
Dengan langkah gontai tak terarah
Keringat bercampur debu jalanan
Engkau sarjana muda
Resah mencari kerja
Mengandalkan ijasahmu…
Empat tahun lamanya bergelut dengan buku
Tuk jaminan masa depan
Langkah kakimu… terhenti.. di depan sebuah jawatan

Indah sekali lirik itu. Tamparan halus mengenai seluruh tubuh yang sudah lemah terkulai oleh keadaan. Aku menghirup nafas panjang. Dulu, saat masih sekolah aku sering menyanyikan lagu itu. Tanpa belum tahu apa maksud atau isi makna di dalamnya. Sehingganya, buatku hanya keindahan lirik dan petikan gitar yang kurasakan. Tak lebih dari itu. Tapi kini…

Aku menjadi subyek utama dari bait lagu bang Iwan. Aku yang merasakan secara utuh seorang pemuda bergelar sarjana lantang luntung mencari “jodoh” untuk menopang kelanjutan hidup. Tak pasti bahkan tak menjamin kemudahan ku dapat setelah sekian lama bergelut mencari dan mengolah ilmu pengetahuan beserta skill (keterampilan hidup). Aku dibuatnya merana, bahkan hampir putus asa. Aku tak lagi dapat membedakan mana orang baik dan mana orang jahat. Mana orang dermawan dan mana orang kikir. Mana seorang kawan dan mana seorang lawan. Mana seorang penguasa bernama Tuhan dan mana, bagaimana, siapa aku mahkluk berwujud insan?

Aku berjalan di sepanjang jalan raya Margonda.. seorang diri. Sepi. Kakiku mulai terasa lelah. Tubuhku mulai terasa letih. Keringat keluar membasahi sekujur tubuh kecil nan kurus ini. Pakaian rapi yang kupakai lusuh seketika. Telapak kaki terasa panas. Sepeatu hitam yang tadi pagi kusemir dan jadi mengkilap berubah wujud menjadi dekil tertempel debu. Rambut klimis bermodalkan minyak rambut minta kakak jadi awut-awutan tak menentu arah. Berposisi sekenanya. Gatal mulai merambah. Mungkin karena adanya pencampuran air keringat dan terik panas matahari. Entahlah. Yang pasti membuat kepalaku pusing. Hampir saja aku terpelanting ketika seorang lelaki bertubuh besar dengan perut buncit, berjas dan berdasi rapi sambil membawa tas kantoran menubruk dengan amat keras. Bukan main aku dibuatnya kaget. Aku jadi sempoyongan. Ling-lung. Kulihat perubahan raut wajahnya dari tadi yang tampak segar menjadi sangar dan berucap:

“Kamu ngga punya mata ya..? mengganggu perjalanan saja. Saya jadi terlambat beberapa menit nih gara-gara kamu!! Hati-hati ya kalau jalan …!!

Langsung saja ia pergi.

“Huh… !!!” aku menarik nafas panjang. Ingin sekali sebenarnya aku membalas makiannya. Tapi kuurungkan. Kepalaku terasa tambah pusing. Kulihat tak seorang pun yang peduli dengan keadaanku yang asyik terduduk di pinggir jalan sebuah pusat perbelanjaan. Setelah tadi hampir terjatuh. Aku mencoba berdiri dan melangkah pergi. mencari tempat untuk sekedar untuk bernaung melepas lelah. Akhirnya…

Aku kembali berjalan di sepanjang jalan raya Margonda. Seorang diri. Pulang. Modal semangat 45 sebagaimana tadi aku punya ketika berangkat pagi-pagi, kini tersisa hanya 10 saja. Jam menunjukkan pukul lima sore. Waktunya para pencari dunia kembali pada kehidupan normalnya. Kehidupan yang bernilai kebebasan. Aku pun berniat kembali. Cukup sudah pencarian kali ini. Besok bisa dilanjut. Dengan modal semangat baru dan harapan baru. Ingin cepat rasanya menginjakkan kaki di rumah. Menghirup dan menikmati aroma ketulusan dan keikhlasan dari setiap perhatian yang telah dilakukan. Bertemu dengan sesosok pecinta pengorbanan demi harapan masa depan. Mencium dan memeluknya sambil berucap:”Maaf Emak, saya masih belum dapat..”




Pengikut

S e l a m a t D a t a n g di Cielung Dkils

TAMU "Gelisah"

free counters