Minggu, 03 Mei 2009

Perjalanan di Jalan Raya (bag 1)

Dkils- Aku berjalan di sepanjang jalan raya margonda Depok Jawa barat. Seorang diri. Tiada kawan yang menemani. Sebelah kananku berlalu lalang berbagai jenis kendaraan darat. Tak bisa disebut satu-satu namanya. Mereka semua dalam jumlah yang tak terkira. Semua dalam satu aktifitas, berjalan di jalan raya, yang belum lama ini diperlebar luasnya ke sebelah kanan sedikit, kira-kira 15 meter dari sebelumya. Wajar, ini karena volume kendaraan yang meningkat setiap harinya di jalan raya.. Entahlah, bagaimana mereka bisa memiliki dan menggunakan kendaraan pribadi secara enak dan nyaman, padahal krisis global sedang menimpa dunia. Orang miskin dan kelaparan bertambah. Korban PHK tak terhitung jumlahnya, pengangguran.. jangan Tanya lagi. Itu termasuk aku. Imbasnya …. Sebelah kiriku berlalu lalang makhluk bernama manusia. Ramai. Walau menurut jam kerja ini belum waktu jam istirahat apalagi pulang.

Aku berjalan di sepanjang jalan raya Margonda. Seorang diri. Hari ini. Melangkah gontai dengan arah tujuan yang tidak pasti. Berharap semoga Tuhan memberikan “jalan” di depan nanti. “Jalan” penerang bagi gelapnya lembar catatan hidupku. Aku melenggang terus. Tak peduli dengan yang lain. Sempat terlintas baris lirik-lirik lagu bang Iwan Fals yang sempat jadi top saat tempo dulu. Bahkan, substansinya masih relevan sampai sekarang. Ku senandungkan lirik itu, mengusir kesepian hati ini.

Berjalan seorang pria muda
Dengan jaket lusuh di pundaknya
Di sela bibir tampak mengering
Terselip sebatang rumput liar
Jelas menatap awan berarah
Wajah murung semakin terlihat
Dengan langkah gontai tak terarah
Keringat bercampur debu jalanan
Engkau sarjana muda
Resah mencari kerja
Mengandalkan ijasahmu…
Empat tahun lamanya bergelut dengan buku
Tuk jaminan masa depan
Langkah kakimu… terhenti.. di depan sebuah jawatan

Indah sekali lirik itu. Tamparan halus mengenai seluruh tubuh yang sudah lemah terkulai oleh keadaan. Aku menghirup nafas panjang. Dulu, saat masih sekolah aku sering menyanyikan lagu itu. Tanpa belum tahu apa maksud atau isi makna di dalamnya. Sehingganya, buatku hanya keindahan lirik dan petikan gitar yang kurasakan. Tak lebih dari itu. Tapi kini…

Aku menjadi subyek utama dari bait lagu bang Iwan. Aku yang merasakan secara utuh seorang pemuda bergelar sarjana lantang luntung mencari “jodoh” untuk menopang kelanjutan hidup. Tak pasti bahkan tak menjamin kemudahan ku dapat setelah sekian lama bergelut mencari dan mengolah ilmu pengetahuan beserta skill (keterampilan hidup). Aku dibuatnya merana, bahkan hampir putus asa. Aku tak lagi dapat membedakan mana orang baik dan mana orang jahat. Mana orang dermawan dan mana orang kikir. Mana seorang kawan dan mana seorang lawan. Mana seorang penguasa bernama Tuhan dan mana, bagaimana, siapa aku mahkluk berwujud insan?

Aku berjalan di sepanjang jalan raya Margonda.. seorang diri. Sepi. Kakiku mulai terasa lelah. Tubuhku mulai terasa letih. Keringat keluar membasahi sekujur tubuh kecil nan kurus ini. Pakaian rapi yang kupakai lusuh seketika. Telapak kaki terasa panas. Sepeatu hitam yang tadi pagi kusemir dan jadi mengkilap berubah wujud menjadi dekil tertempel debu. Rambut klimis bermodalkan minyak rambut minta kakak jadi awut-awutan tak menentu arah. Berposisi sekenanya. Gatal mulai merambah. Mungkin karena adanya pencampuran air keringat dan terik panas matahari. Entahlah. Yang pasti membuat kepalaku pusing. Hampir saja aku terpelanting ketika seorang lelaki bertubuh besar dengan perut buncit, berjas dan berdasi rapi sambil membawa tas kantoran menubruk dengan amat keras. Bukan main aku dibuatnya kaget. Aku jadi sempoyongan. Ling-lung. Kulihat perubahan raut wajahnya dari tadi yang tampak segar menjadi sangar dan berucap:

“Kamu ngga punya mata ya..? mengganggu perjalanan saja. Saya jadi terlambat beberapa menit nih gara-gara kamu!! Hati-hati ya kalau jalan …!!

Langsung saja ia pergi.

“Huh… !!!” aku menarik nafas panjang. Ingin sekali sebenarnya aku membalas makiannya. Tapi kuurungkan. Kepalaku terasa tambah pusing. Kulihat tak seorang pun yang peduli dengan keadaanku yang asyik terduduk di pinggir jalan sebuah pusat perbelanjaan. Setelah tadi hampir terjatuh. Aku mencoba berdiri dan melangkah pergi. mencari tempat untuk sekedar untuk bernaung melepas lelah. Akhirnya…

Aku kembali berjalan di sepanjang jalan raya Margonda. Seorang diri. Pulang. Modal semangat 45 sebagaimana tadi aku punya ketika berangkat pagi-pagi, kini tersisa hanya 10 saja. Jam menunjukkan pukul lima sore. Waktunya para pencari dunia kembali pada kehidupan normalnya. Kehidupan yang bernilai kebebasan. Aku pun berniat kembali. Cukup sudah pencarian kali ini. Besok bisa dilanjut. Dengan modal semangat baru dan harapan baru. Ingin cepat rasanya menginjakkan kaki di rumah. Menghirup dan menikmati aroma ketulusan dan keikhlasan dari setiap perhatian yang telah dilakukan. Bertemu dengan sesosok pecinta pengorbanan demi harapan masa depan. Mencium dan memeluknya sambil berucap:”Maaf Emak, saya masih belum dapat..”




Tidak ada komentar:

Pengikut

S e l a m a t D a t a n g di Cielung Dkils

TAMU "Gelisah"

free counters