Minggu, 22 Februari 2009

Mimpi Pengajian Nurul Muslimat (Bag 1)

Dkils- Mungkin kita sama-sama tahu bahwa belakangan ini kita telah menggandrungi novel fenomenal berjudul “Lasykar Pelangi” karya Andrea Hirata yang dipersembahkan untuk seorang guru tercinta bernama Ibu Muslimah yang telah menjadi actor dibalik kesuksesan anak didiknya selama mengikuti pelajaran di sekolah Muhammadiyah. Khususnya pada tempo dulu (Angkatan Andrea Hirata).

Novel itu menceritakan sosok seorang guru yang dengan keikhlasannya beliau mengajar dan mendidik Andrea dan kawan-kawan. Padahal, situasi dan kondisi saat itu, bisa dibilang amat sangat memprihatinkan kalau dilihat dari sisi lembaga pendidikan. Tapi berlandaskan semangat dan cita-cita untuk memajukan peserta didiknya dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan akhirnya cita-cita ibu Muslimah bisa terwujud.

Tidak jauh beda dengan novel Andrea Hirata. Di Jepang sebelumnya juga telah muncul novel berbalut cerita nyata seorang murid yang menggambarkan perjuangan dirinya dan kepala sekolahnya dalam menggapai cita-cita murni menjadi orang berhasil dalam Novel berjudul “Toto-Chan:Gadis Cilik di Jendela” karya Tetsuko Kurayanagi. Dalam novel ini mengisahkan secara panjang kisah perjalanan sang penulis yang mempunyai panggilan Toto-Chan saat anak-anak beserta teman-teman dan kepala sekolah yang berputat dalam lembaga pendidikan bernama Tomoe Gukuen.

Tomoe gukuen didirikan pada tahun 1937 oleh Mr. Kobayashi (kepala sekolah) yang juga menjadi salah satu tokoh utama dalam novel ini. Letaknya di Tokyo Tenggara. Tiga menit jalan kaki dari stasiun Giyogauka di jalur Tokyo. Sekolah ini terbakar hangus pada tahun 1945 dan setelah itu tak ada lagi. Sementara Mr. kobayashi meninggal dalam usia 69 tahun dan belum sempat mendirikan sekolah yang lain.

Saya tidak berbicara lebih jauh bagaimana isi kisah para tokoh dalam novel tersebut. Tapi di sini saya mencoba memberi catatan tentang novel tersebut yang memberikan wacana baru bagi saya atau katakanlah inspirasi untuk bisa memiliki sekolah (Lihat Bag. 2) sebagaimana yang pernah ada di Tomoe Gukuen.

Di catatan akhir novel, sang penulis alias Toto Chan mencoba menjelaskan metode pendidikan yang diterapkan oleh Mr. Kobayashi. Bagi Mr. Kobayashi, dia yakin setiap anak dilahirkan dengan watak baik, yang dengan mudah bisa rusak karena lingkungan mereka atau karena pengaruh-pengarauh buruk orang dewasa. Mr. Kobayashi berusaha menemukan “watak baik” setiap anak dan mengembangkannya agar anak-anak tumbuh menjadi orang dewasa dengan kepribadian yang khas.

MR. Kobayashi sangat menghargai segala sesuatu yang alamiah dan ingin agar karakter anak-anak berkembang sealamiah mungkin. Dia juga sangat mencintai alam dan musik.

Di sekolah ini, dia mempraktekan kurikulum yang cukup bebas untuk mengembangkan kepribadian setiap anak dan membangkitkan harga diri mereka. Tempat pembelajaran diberikan dalam suasana bebas. Pelajaran diberikan pada pagi hari. Setelah istirahat siang, waktu digunakan untuk berjalan-jalan, mengumpulkan tanaman, menggambar sketsa, menyanyi atau mendengarkan cerita-cerita dari Guru atau Kepala sekolah. kemudian para peserta didik (anak kecil) diberikan pengaruh yang tepat oleh orang dewasa, sehingga akan bisa menjadi pribadi yang pandai menyesuaikan diri dengan orang lain. Jumlah peserta didik tidak banyak, maksimal hanya 50 anak-anak. Tidak boleh lebih.

Mr. Kobayashi sering berkata kepada Guru taman kanak-kanak agar tidak mencoba memaksa anak-anak tumbuh sesuai bentuk kepribadian yang sudah digambarkan. “Serahkan mereka kepada alam,” begitu katanya. “Cita-cita mereka lebih tinggi dari pada kalian”

Inilah sebuah pelajaran penting dari perjalanan Toto-Chan beserta kepala sekolahnya Mr. Kobayashi dalam merangkai tali-tali semangat dan dedikasi untuk memajukan anak bangsa dalam meraih ilmu pengetahuan dan keterampilan demi terwujudnya masa depan yang cerah dan gemilang.

Tidak ada komentar:

Pengikut

S e l a m a t D a t a n g di Cielung Dkils

TAMU "Gelisah"

free counters