Rabu, 16 Desember 2015

Cita Gita

Segala Puji Bagimu Ya Allah, Tuhan Sekalian Alam

Siang ini udara panas sekali. Aku berlari menyusuri pematang sawah yang telah habis masa panennya. Banyak sekali berserakan sisa-sisa padi yang kemarin baru saja telah dipanen dan langsung digiling sebelum dibawa ke koperasi desa untuk di pasarkan.

Aku tak mau berhenti, walau terdengar suara teman-teman yang mengajak untuk berteduh sambil istirahat setelah berlari tak henti dari halaman sekolah. Aku berlari terus dan tak peduli. Sekilas aku menoleh untuk melihat mereka sebelum langkahku jauh meninggalkanya. Mereka tertawa. Tomi, teman kelasku yang bertubuh tambun alias mirip gentong rupanya sedang asyik di godai sama teman-teman. Meraka mengelitiki Tomi yang sedang duduk istirahat mengambil nafas. Denis si bocah kurus kecil nan usil terlihat tertawa geli karena sudah membuat Tomi ketakutan untuk dikelitiki.

Aku iri melihat mereka. Tapi aku harus bagaimana? Ada yang harus aku kerjakan setiap pulang sekolah, dan itu tidak boleh aku tinggalkan. Sebab ibu sering marah jika aku tak mematuhi peraturan yang telah dibuatnya. Maklum aku adalah anak tertua dari tiga bersaudara. Kedua adikku, Noni dan Nana masih berumur 8 dan 6 tahun. Mereka sangat kecil untuk memahami keberadaan dan kondisi yang harus dihadapi kami sebagai satuan keluarga. Mengingat itu, aku segera pergi dan berlari sekencang-kencangnya.

##

Tuhan Pemilik Cinta, Tuhan Penebar Kasih


Ibu sedang melayani pembeli. Hari ini ramai sekali. Tidak seperti dua hari kemarin, Ibu hanya bengong menunggu kedatangan para pembeli rujak dan gado-gado dagangannya. Mukanya cemberut dengan mimik yang lucu. Sesekali senyum kalau melihat putera dan puterinya, mungkin ia bermaksud menghibur atau mencoba menunjukan suatu sikap bahagia padahal sebenarnya tidak. Tapi itulah Ibu. Tetap semangat dengan semua kondisi yang ada.

Ia memanggil serta mengagetkanku yang sedang asyik melamun mengingat hari kemarin. Diperintahkannya aku untuk mengambil sayuran untuk gado-gado di dalam rak makanan. Rupanya, sebagian sayur di luar telah habis. Untung masih ada cadangan. Sehingga ibu masih tetap berjualan meski hari menjelang petang.

“Gita… ibu senang hari ini”
Ia memulai pembicaraan setelah warung tampak sepi dan tinggal kami berdua.

“Gita juga senang kalau melihat Ibu senang”.
Ia mengusap kepalaku. Tangisnya tadi malam saat bermunajah kepada pemilik alam, terbayar hari ini. Ia terus mengembangkan senyum.

“Kamu kalau mau main, pergilah…! Tapi jangan lupa ajak adikmu Nana. Biar Noni sama ibu di sini menunggu warung. Tanggung tinggal sedikit lagi habis”

“Tidak Bu, biar Gita di sini saja menemani Ibu. Gita ga mau melihat ibu kerja sendirian”.

“Kamu memang tidak mau main sama Meta ?”

“Ngga..!”

“Ooo.. ya sudah kalau gitu !”

Aku memandangi wajah Ibu. Ia tampak kelihatan lebih tua dari umurnya. Mungkin karena harus menanggung beban hidup. Karenanya ia banyak pikiran. Tapi biarlah, yang penting Ibuku tetap terlihat cantik dan ayu. Wajahnya bersinar karena sering dipoles oleh air wudhu. Aku ingin seperti dirinya. Mempercantik diri dengan yang alami, sesuai perintah kanjeng Nabi.

##

Rinduku padamu ya Robbi…

Suara jangkrik terus bersahutan terdengar merdu. Aku tidak memiliki televisi, tapi cukuplah suara jangkrik itu sebagai penghibur hati atas keresahan yang membelenggu diri sejak pulang sekolah tadi. Apa coba yang harus aku katakan pada Ibu nanti? Aku tidak tega, sungguh ini memberatkan. Tapi aku juga membutuhkannya? Oh Tuhan Robbul ‘ijjati, tolonglah hambamu yang sedang bingung ini. Ucapku lirih.

Aku meneteskan air mata. Terdengar alunan suara seseorang membaca al-quran. Merdu sekali. Bacaan Makhorijul hurufnya betul, tajwidnya betul, suaranya syahdu. Oh indahnya…. Aku jadi terhanyut, terbuai oleh keindahan mu’jizatnya. Terasa terobati hati yang gundah gulana ini. Akhirnya dapat terlupakan dalam keheningan.

##


Hanya kepadamu aku memohon, kabulkan ya Robbi….

“Ngga apa-apa, bawa ini Gita. Jangan pikirkan untuk Ibu. “

“Tidak Ibu, Gita tidak mau. Biarlah Gita cari sendiri. Ini untuk modal Ibu saja. Kalau Gita pakai, bagaimana dengan nasib jualan Ibu?”

“Kamu bicara apa Gita? Jangan bicara seperti itu?, sudah pakai saja ini”

Aku menangis. Tak tahan melihat wajah baik Ibu. Sungguh aku tak berani membayangkan bagaimana jika uangnya aku pakai, bagaimana dengan jualan Ibu ? karena ini adalah modal satu-satunya. Ibu paling tidak suka kalau meminjam dari orang lain.

Baginya, selagi kita mampu untuk menghasilkan sendiri, jangan pernah minta bantuan orang lain. Pelajaran moral ini yang sekarang aku sedang dilaksanakan, tapi Ibu tidak menyetujuinya. Baginya, aku belum saatnya mencari uang sendiri di masa sekolah ini. Biar Ibu yang mencari sendiri.
Tetap saja kutepis uang pemberian Ibu. Bagiku, pekerjaan yang sudah kulakukan selama dua minggu ini, sedikit membantu untuk tambahan pembayaran uang ujian akhir. Sisanya aku akan cari lagi. Aku menjelaskannya kepada Ibu.

Kini giliran Ibu yang kulihat menangis. Ia kaget dan bingung, kenapa aku bisa melakukan hal itu tanpa memberitahukannya, mungkin itu pertanyaan yang ada di benak Ibu. Aku mencoba mengira-ngira. Sebab Ibu tak banyak bicara setelah mendengar penjelasanku tadi selain menangis.
Aku jadi tak enak hati. Kudekati Ibu dengan mencoba menghiburya.

“Ibu ngga usah khawatir, Gita bisa kok mengerjakan ini semua”
Ibu tetap diam. Ia hanya sesunggukan menahan tangis.

“Kan Ibu pernah bilang sama Gita:”Kalau kita harus mengerjakan sendiri pekerjaan yang bisa kita lakukan tanpa minta pertolongan orang lain”. Gita kan sudah besar, iya kan Ibu?”
Ia mengangguk.

“Cuma Gita minta maaf, karena sekarang tidak bisa menjaga Noni dan Nana full seperti dulu lagi setelah pulang sekolah.”

Ia mengusap sisa-sisa air mata di kedua pelupuk matanya. Sepertinya ia sudah bisa menguasai emosi.

“Tapi kau tidak boleh melakukan ini semua sampai nanti nak, cukup untuk satu bulan ini saja”
Aku mengangguk mengiyakan, walaupun sebenarnya aku telah tekan kontrak 6 bulan lamanya untuk bekerja pada Ko Siem sebagai pencuci laoundry. Bagiku, itu masalah nanti saja, yang penting sekarang Ibu mau memahami kenapa dua minggu ini aku pulang terlambat dan terlihat lelah sekali setiba di rumah.
Aku memeluk Ibu. Ingin kurasakan kehangatan yang telah lama hilang karena keegoisanku meninggalkannya untuk mencari uang.

Ibu membalas pelukanku. Hangat terasa menyebar ke seluruh tubuh. Semangat dan motivasi seolah tersalur bersama pelukan hangat.

Aku ingin menjadi seperti Ibu. Merawat, mendidik, menjaga, mengasihi dan menyayangi semua anaknya dengan setulus hati. Doa kecilku dalam hati.

(sudah di publikasikan di http://www.kompasiana.com/fiksi.kompasiana.com/cita-gita_566e3b8326b0bd1805a9ceb6 )

Tidak ada komentar:

Pengikut

S e l a m a t D a t a n g di Cielung Dkils

TAMU "Gelisah"

free counters