Jumat, 05 Februari 2010

CERITA SUFI

Ada cerita sufi yang kiranya perlu kita jadikan sebagai pelajaran dalam menjalani kehidupan sehari-hari terutama bagaimana kita bersikap terhadap makhluk Tuhan yang bernama hewan.

Di tengah kota hiduplah seorang ulama saleh yang memelihara seekor burung. Ulama tersebut amat sangat mencintai burung itu. Setiap hari dirawat dan dijaga secara rutin. Tidak pernah ia lupa untuk meninggalkannya, terlebih-lebih soal memberi makan. Namun, pada suatu hari ia pergi kekota guna memenuhi keperluannya sehari-hari. Belum sampai ada setengah jalan ia teringat bahwa ia belum memberi makan pada burung kesayangannya. Ia pun bimbang apakah ia harus pergi melanjutkan perjalanan ke kota atau kembali dahulu untuk memberi makan burung. Akhirnya ia mengambil keputusan melanjutkan perjalanan sambil berkata: “Ah.. biarkan saja tidak apa-apa. Tohkan binatang tahan lapar dan haus, nanti malam aku sudah kembali ke rumah”. Ternyata ulama saleh itu terhambat perjalanannya sehingga ia baru bisa kembali kerumahnya beberapa hari kemudian. Singkat cerita ketika ia kembali burung itupun sudah mati. Karena burung bukan makhluk yang berharga, ia pun segera melupakannya. Pikirnya, semua makhluk pasti akan mati. Soal lapar dan haus hanya sebab belaka.

Kemudian akhir cerita sufi ini pun mengisahkan, ketika ulama itu meninggal, ia masuk neraka wail, neraka terendah. Sebabnya ia menganggap sepele kehidupan makhluk yang ada di dunia ini. Padahal setiap makhluk dari paling besar sampai yang dianggap hina sekalipun memiliki nilai tersendiri karena ia diciptakan oleh Tuhan.

Dewasa ini, banyak sekali manusia-manusia tak bertanggung jawab yang hanya bisa mementingkan kepentingan diri sendiri saja dengan memanfaatkan dan menggunakan ekosistem yang ada secara liar dan brutal. Akibatnya siklus kehidupan antar makhluk terjadi ketimpangan, lantas antara manusia dan alam terjadi suatu kerengangan hubungan.

Manusia memang masih banyak yang belum sadar, bahwa di sekelilingnya ada makhluk-makhluk lain yang perlu kita jaga dan kita bina hubungannya dengan baik. baik makhluk hidup maupun makluk mati. Karena pada dasarnya menjaga hubungan yang baik dengan alam sama saja menjaga kelangsungan hidup kita secara baik dan aman untuk hari-hari berikutnya.

Contoh kecilnya, sebagaimana tertulis pada cerita di atas. Andaikata ulama tersebut tidak mengurung burung dan lupa memberi makan, mungkin burung tersebut masih bisa hidup dan terbang bebas, menambah pesona dan penguatan iman atas hasil karya dan kekuasaan Tuhan. Namun karena kecerobohan dan keegoisan ulama itu sendiri, atas perlakuan “ kurang menyenangkan” tersebut terhadap ciptaan Tuhan, maka yang ia peroleh di hari kemudian adalah sebuah hukuman yang setimpal.

Belum lagi contoh besar yang sama-sama telah kita lihat dan rasakan sendiri belum lama ini. Bagaimana Tuhan “murka” atas apa yang dilakukan sebagian manusia terhadap alam. Mulai dari buang sampah sembarangan yang mengakibatkan sampah ada dimana-mana, sehingga ketika hujan tiba, sampah banyak berada di got dan menyebabkan banjir. Setelah itu muncullah berbagai macam penyakit yang membahayakan seperti typhus, TBC, sampai demam berdarah.

Contoh lain Penangkapan, pembunuhan binatang dan penebangan hutan secara liar yang tidak ada habis-habisnya, dilihat secara dekat, memang amat sangat menguntungkan bagi para pelakunya. Tetapi kalau dilihat lebih jauh dampaknya, yang terjadi adalah kesengsaraan yang luar biasa bagi kita semua umat manusia. Hal ini terbukti ketika kebakaran hutan di Kalimantan dan Riau. Bukan hanya warga setempat tetapi warga negara lain (Malaysia dan Australia) ikut merasakan dampak dari asap yang datang dari kebakaran hutan. Begitu juga ketika tsunami datang.

Kita dapat merasakan sesuatu yang luar biasa tidak nyamanya hidup akibat dari bencana itu. Dan dari hal ini semua, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa alam memang sudah tidak bersahabat lagi dengan kita. Yang menjadi pertanyaan? Siapa yang memulai merenggangkan persahabatan itu?

Di pandang dari segi penciptaan, hubungan manusia dengan alam pada hakikatnya adalah sebagai sesama ciptaan Tuhan saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Hanya saja manusai diberi tugas khusus dalam berhubungan dengan alam. Sedangkan alam hanya mempunyai tugas disediakan dan ditundukkan buat manusia. Manusia dalam berhubungan dengan alam harus benar-benar bisa menjaga hubungan tersebut, dengan cara mengelolah, memakmurkan, melestarikan, dan memanfaatkan sebaik-baiknya alam. Tidak dengan cara anarkhi apalagi merendahkan alam.

Makanya Islam melarang keras sikap-sikap eksploitatif terhadap alam misalnya, pengrusakan lingkungan, pencemaran udara, penggundulan hutan, penumpukan harta, pemborosan, penangkapan hewan secara liar dan sifat-sifat lainnya yang dapat menghancurkan hubungan baik antara manusia dengan alam.

Di akhir tulisan ini, mari sama-sama kita renungi dan fahami makna yang terkandung dalam ayat al-quran (surat al-an’am: 38) yang berbunyi:

38. Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. tiadalah kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab[472], Kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.

sebahagian Mufassirin menafsirkan Al-Kitab itu dengan Lauhul mahfudz dengan arti bahwa nasib semua makhluk itu sudah dituliskan (ditetapkan) dalam Lauhul mahfudz. dan ada pula yang menafsirkannya dengan Al-Quran dengan arti: dalam Al-Quran itu Telah ada pokok-pokok agama, norma-norma, hukum-hukum, hikmah-hikmah dan pimpinan untuk kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat, dan kebahagiaan makhluk pada umumnya.

Semoga kita bisa menjadi makhluk yang mampu menjaga dan mengelola alam dengan baik sehingga tercipta hari-hari esok nan bahagia. Amin

Tidak ada komentar:

Pengikut

S e l a m a t D a t a n g di Cielung Dkils

TAMU "Gelisah"

free counters